Posts

MISI yang datang setelah SIRI

Image
Kalau mau bicara tentang novel MISI, saya tidak bisa melewatkan pembahasan tentang SIRI' yang saya ketahui dari podcast KepoBuku .  Mungkin bukan cuma saya yang awalnya mengira bahwa ini novel tentang kawin siri. Koma atas di akhir kata siri memang rentan terabaikan. SIRI' dalam bahasa Bugis artinya adalah malu atau aib.  Saya membaca SIRI' tahun lalu dari aplikasi Gramedia Digital. Ada hal-hal yang kurang cocok di hati tentang buku ini, tapi entah kenapa enggak bisa berhenti baca. Isunya buerat dan buanyak, dan ada sedikit suudzon bahwa mba Asmaya memaksakan menjejalkan semuanya itu plus masih nekat menambahkan informasi setting tempat yang beragam.  Tapi, ya itu tadi. Saya enggak berhenti membaca. Porsi sebanyak itu tetap saja readable dan (syukurlah) tidak menimbulkan depresi berlebihan setelah membacanya.    Di dalam novel SIRI' ada pembahasan tentang poligami, rasisme, konflik antar agama, orientasi seksual yang tidak mainstream, masalah antar orang tua dan anak, a

Buku yang Ramah Anak

Image
Kepentingan Penulis atau Kepentingan Pembaca? Seperti yang sudah saya singgung sekilas di feed Instagram, ada pembahasan yang sama-sama muncul di workshop Ayu Utami dan workshop Litara, yaitu kepentingan penulis VS kepentingan pembaca. Ayu sempat bilang, sah-sah saja bila penulis HANYA ingin memenuhi kepentingannya sendiri dan berhenti di sana. Mungkin seseorang sudah cukup puas saat berhasil menuangkan keresahannya dalam bentuk cerita. Dimengerti atau tidak, disukai atau tidak, dia tidak ambil pusing. Namun perlu dicatat, kalau ternyata kepentingan pembaca tidak sejalan dengan kepentingan penulis, penulis bisa kehilangan pembaca.  Sesi Buku Ramah Anak di workshop Litara dibuka Mbak Sofie dengan sebuah pernyataan tegas:  Buku anak TIDAK HARUS punya nilai moral. Buku anak HARUS menghibur. Penulis buku anak cenderung ingin mengajari anak (pembaca) karena BERANGGAPAN anak belum tahu sehingga mereka perlu mempelajarinya. Inilah yang disebut persepsi defisit. Penulis, yang adalah ora

Fondasi yang Tak Tergoyahkan

Image
Maret lalu saya dapat kesempatan ikut workshop Litara bersama Let’s Read. Ngapain aja sih selama delapan jam dikali tiga hari itu? Belajar, praktek, diskusi, dan request lagu. Ngomong- ngomong soal lagu, Hati-hati di Jalan yang diputar di break hari pertama kayanya adalah hint halus dari penyelenggara. Hihi… Kukira tak kan ada kendala Kukira ini kan mudah Workshop Litara adalah kawah candradimuka. Prestis buku-buku Litara tidak didapatkan tanpa alasan. Penulis harus tangguh melewati proses yang panjang. Kalau berhasil survive, bisa punya otot kawat, balung wesi dan mental baja. Materi yang dibahas di workshop sebenarnya tidak berbeda dari workshop penulisan yang lain. Antara lain: Penokohan 3 dimensi (meliputi fisik, psikologis, dan sosial tokoh) Struktur cerita (meliputi beginning-middle-end atau yang disingkat BME) Premis cerita (objective-motivation-obstacle dan biasa disebut OMO) Unsur-unsur fiksi sudah diajarkan sejak kelas empat SD. Sebagai penulis mestinya kit

Memahami Kehidupan Melalui Tulisan Matt Haig

Image
Mama sholehah dapat rezeki tiket Jaktent (Terima kasih Mbak Ayu!).  Matt Haig adalah salah satu pembicara yang saya incar dari acara Jaktent 2021. PERJUMPAAN DENGAN MATT HAIG **PERINGATAN: MENGANDUNG BOCORAN CERITA** Tulisan Matt Haig yang pertama kali saya baca adalah How to Stop the Time . Buku bersampul biru itu bercerita tentang manusia-manusia yang menua dengan sangat lambat a.k.a masyarakat Albatross.  Fiksi kerap mengangkat tema seputar usaha tak kenal lelah manusia melawan hukum alam, misalnya membangkitkan orang mati, kembali ke masa lalu, dan hidup abadi. How to Stop the Time menampilkan ironi dari usia panjang yang nyaris terasa seperti hidup abadi. Ada banyak konsekuensi dan harga yang harus dibayar si tokoh Tom karena keadaannya. Wahai manusia pengejar kemudaan, bacalah buku ini. Awet muda terbukti bisa membawa bencana. Meski akhir ceritanya lumayan bahagia, ada kesedihan yang tetap tidak bisa dienyahkan dari kesan keseluruhan. Yang paling saya suka dari buku ini adal

Ngopi Bersama Alberthiene Endah

Image
Saya sudah semangat banget waktu lihat poster acara ngopi bareng mba Alberthiene Endah bersama GPC tentang menulis biografi. Pasalnya saya juga sedang mengerjakan buku cerita anak biografi. Sayang sekali, sore itu Langit agak mendung—Langit yang ada di dalam rumah ya. Jadilah pada saat acara saya bergabung terlambat dan harus pergi lebih cepat. Tetap saja, dalam waktu singkat, saya mendapat banyak pelajaran berharga dan kutipan yang sangat menginspirasi. BERAGAM ASPEK MENULIS BIOGRAFI Saya mengenal nama AE sebagai penulis buku biografi (tingkat dewa). Saya baru tahu ternyata ia pernah menjadi jurnalis selama tujuh belas tahun.Kalimat pertama yang saya dengar ketika masuk ke ruang zoom adalah: “Menulis biografi itu 20% skill menulis dan 80% wawancara dan kerja keras.” Wih … saya langsung tahu acara ngopi malam itu pasti cadas. AE berkali-kali mengingatkan bahwa proses wawancara memerlukan stamina prima. Terkadang wawancara bisa berlangsung sampai puluhan kali. Tak hanya dengan tokoh yan