Semua Karena Mama



Mengenang cerita yang saya buat dua tahun lalu untuk majalah halonanda, setelah selesai ikut kelas kurcacinya Mas Bambang Irwanto.
Dedicated to the most famous villains in the world (at least from their children eyes): MOTHERS
Enjoy!

Semua Karena Mama

“Mbak, kita harus lapor KOMNAS perlindungan anak!” ujarku.
Mbak Lea, Kakakku, meletakkan buku yang sedang dibacanya lalu menatapku dengan bingung.
“Aku capek disuruh ini itu sama Mama,” jelasku.
Ia tertawa. “Memangnya kamu barusan disuruh apa?”
“Cuci piring.”
“Piring siapa?”
“Piringku. Tapi kan…” kuhentikan kalimatku. Ah sudahlah, harusnya aku tahu kalau Mbak Lea selalu membela Mama. Kutinggalkan kamarnya tanpa sepatah katapun. Tak kuhiraukan teriakannya dari dalam,
“Lho! Ken, nggak jadi lapor KOMNAS anak?”
Aku melanjutkan main game, meski pikiranku belum bisa beralih dari Mama. Masa di usia sepuluh tahun, aku sudah punya kerjaan seabrek? Mamaku adalah ilustrator buku cerita anak yang bekerja dari rumah. Sementara Papaku bekerja sebagai koki di kapal pesiar. Papa hanya berada di rumah selama tiga bulan dalam setahun. Karena Mama menolak memperkerjakan asisten rumah tangga, semua pekerjaan rumah dikerjakan kami bertiga. Aku dan Mbak Lea hanya bebas tugas kalau sedang ada tes atau sedang sakit. Makanya aku jengkel waktu Mama menyuruhku cuci piring tadi. Ini kan hari Jumat. Akhir pekan adalah waktunya aku main game.
“Kenzie, sudah packing untuk kemah besok?” tanya Mama dari pintu kamarku yang terbuka.
Tuh,kan! Baru juga sepuluh menit main game.
“Bentar,” jawabku.
“Oke, jangan sampai ada yang ketinggalan ya,” kata Mama.
Mendengar itu, aku langsung mengambil ranselku. Minggu lalu, Mama sudah mengingatkanku berkali-kali supaya membawa pianika untuk tes di sekolah. Tapi karena terus menunda, aku lupa. Akhirnya aku harus ikut tes susulan karena Mama menolak mengantar pianikaku ke sekolah. Huh, susahnya punya Mama pelit dan malas.
Keesokan paginya, Mama mengantarku ke sekolah.
“Mama nggak dicium, nih?” tanyanya.
“Malu dilihat temen,”elakku. Terus terang aku masih dongkol sama Mama.
Kudatangi Marvel dan Kenneth, teman sekelompokku, di dalam bis.
 “Kok manyun aja, bro?” tanya Marvel saat mengajakku tos.
“Bete sama Mama!” sahutku singkat.
Perjalanan dua jam menuju ke bumi perkemahan tidak terasa, karena kami asyik membahas mengenai trik game yang kami mainkan. Seusai upacara singkat, kami pun mendirikan tenda. Edward dan Demian, yang juga tergabung dalam kelompokku, mendapat giliran pertama memasak. Ketika aku sedang memasang alas tidur, kudengar teriakan Demian dari luar. Rupanya tangannya terciprat minyak panas.
“Cepat basuh dengan air,” seru Marvel.
Karena panik mengurus Demian, tak seorangpun ingat akan kentang yang sedang digoreng. Alhasil, makan siang kami hangus.
“Aku buatkan pancake aja deh,” putusku.
“Kamu bisa buat pancake??” tanya Edward heran.
“Kan, gampang banget,” jawabku sambil menyiapkan bahan.
Dalam setengah jam, mulut kami sudah sibuk mengunyah pancake.
“Enak banget, Ken!” puji Demian, “Kamu sering masak, ya?”
“Lebih tepatnya, wajib memasak jika ada Papaku di rumah,” jawabku sambil diam-diam merasa bangga.
Tepat pukul dua siang, kami semua berkumpul di lapangan. Setelah dua jam memainkan berbagai permainan tradisional seperti seledur, gobak sodor dan cublak-cublak suweng, kami dipersilahkan kembali ke tenda untuk istirahat dan menyiapkan atraksi untuk acara api unggun nanti. Kami berlima sepakat untuk menyanyikan sebuah lagu milik One Direction. Selesai latihan, Kenneth memutuskan untuk mandi.
“Di mana ya sabunku?” ujar Kenneth sambil membongkar ranselnya.
“Memangnya kamu taruh di mana?” tanya Edward.
“Nggak tahu. Kan, Mbak Sri yang mengemas barangku,” jawab Kenneth.
Kenneth menyerah setelah lima menit mencari.
“Aduh! percuma punya asisten rumah tangga kalau aku masih repot,” keluhnya.
“Pakai punyaku saja, deh,” tawarku.
“Bakal kuomelin Mbak Sri nanti!” omelnya ketika keluar dari tenda.
Baru sebentar berbaring, aku dikejutkan oleh suara Marvel, “Yah! power bankku ketinggalan!”
Handphonemu mati?”
“Iya. Padahal aku belum mengabari Mama kalau sudah sampai kemari.”
“Nih, biar jadul tapi baterai full!” 
Marvel meringis ketika kusodorkan handphoneku.
Aku sudah kebal diledek teman-teman karena handphoneku. Mama bilang, aku baru boleh pakai smart phone, jika sudah duduk di bangku SMP seperti Mbak Lea.
Thanks, bro!” ucap Marvel seusai menelpon Mamanya.
Ah, tiba-tiba aku kangen Mama. Selama ini, memang aku iri dengan teman-temanku. Tapi sekarang aku paham.  Jika bukan karena Mama, aku mungkin akan mengalami kesulitan seperti mereka. Aku jadi menyesal tidak mencium Mama pagi tadi.
Aku mengetikkan sebuah pesan singkat untuk Mama ‘Lagi apa, Ma?’
Balasan datang kurang dari semenit. ‘Lagi kangen kamu. Kamu juga kangen Mama, kan?’

Aku tertawa sendiri. Dasar Mama!

Comments

Popular posts from this blog

Perempuan-perempuan Hebat di Drama Korea

Ngopi Bersama Alberthiene Endah

Kelas Menulis TaCita 2021 Bersama Kak Reda dan Kak Naya