Memahami Kehidupan Melalui Tulisan Matt Haig
Mama sholehah dapat rezeki tiket Jaktent (Terima kasih Mbak Ayu!). Matt Haig adalah salah satu pembicara yang saya incar dari acara Jaktent 2021.
Tulisan Matt Haig
yang pertama kali saya baca adalah How to
Stop the Time. Buku bersampul biru itu bercerita tentang manusia-manusia
yang menua dengan sangat lambat a.k.a masyarakat Albatross.
Fiksi kerap
mengangkat tema seputar usaha tak kenal lelah manusia melawan hukum alam,
misalnya membangkitkan orang mati, kembali ke masa lalu, dan hidup abadi. How to Stop the Time menampilkan ironi
dari usia panjang yang nyaris terasa seperti hidup abadi. Ada banyak
konsekuensi dan harga yang harus dibayar si tokoh Tom karena keadaannya. Wahai
manusia pengejar kemudaan, bacalah buku ini. Awet muda terbukti bisa membawa
bencana.
Meski akhir ceritanya lumayan bahagia, ada kesedihan yang tetap tidak bisa dienyahkan dari kesan keseluruhan. Yang paling saya suka dari buku ini adalah cara Matt merangkai kata-kata biasa menjadi untaian kalimat yang indah.
Berbeda dengan kesan kebanyakan pembaca, Midnight Library membuat saya sedikit kecewa. Mungkin karena cukup banyak karya fiksi mengusung tema penjelajahan dunia pararel demi melihat alternatif kehidupan yang dilewatkan. Kesimpulan akhir buku ini pun senada dengan kebanyakan cerita: Tidak ada kehidupan yang sempurna.
Kita sering
berpikir jika memiliki hal ini, benda itu, dan orang tertentu dalam kehidupan
kita maka kita akan merasa bahagia. Kenyataannya, yang ditambahkan dalam
hidup kita dan yang dihilangkan dari hidup kita akan membawa konsekuensi
tersendiri. Ujung-ujungnya, hidup tetap tak sempurna.
Bitter fact: Yang kita miliki saat ini biasanya adalah pilihan yang terbaik.
Saya bertahan membaca buku ini hingga selesai karena beberapa hal yang membuatnya berbeda, antara lain: aturan main perpustakaan tengah malam dan kenyataan bahwa Nora memulai perjalanan ini karena usahanya bunuh diri. Selain itu buanyaknya kehidupan alternatif yang dijajal olah Nora membuat saya penasaran apakah dia berhasil menemukan satu yang sempurna.
MENGENAL MATT HAIG LEBIH JAUH
Saat mendengar bahwa Matt Haig pernah mengalami depresi hebat saat dia berusia 24 tahun yang membuatnya kena serangan panik dan sempat mencoba bunuh diri, barulah saya bilang ‘Oo … pantes’
Hingga saat ini Matt telah menulis tiga puluh buku termasuk buku cerita anak. Dua puluh di antaranya membahas tentang kesehatan mental. meski begitu, Matt tegas menolak sebutan penulis spesialis kesehatan mental. Selama satu jam berbicara dengan Marissa, Matt beberapa kali menegaskan bahwa dia tidak punya latar belakang pendidikan psikologi dan tidak kompeten untuk menanggapi masalah mental orang lain. Dengan alasan yang sama, dia pernah menolak tawaran menjadi duta kesehatan mental.
ALASAN UNTUK TETAP HIDUP
Tiga belas tahun
sejak depresi yang dia alami, Matt menulis buku Reasons to Stay Alive. Saya langsung mengunduh versi terjemahannya
di Gramedia Digital setelah nonton sesi ini.
Matt mengatakan
bahwa dia menulis buku itu semata-mata untuk berbagi dan mengurangi rasa
kesepian. Awalnya dia sempat merasa takut. Ternyata Matt membuat keputusan yang
baik. Dia tidak dihantui trauma dalam proses menulis. Malahan setelah menyimpan
fakta itu selama bertahun-tahun dan hanya bercerita pada pasangan dan orang
tuanya, dia merasa lega. Seperti sebuah bendungan yang pecah.
“Aku menulis buku yang ingin kubaca, that’s how I wanna hear myself,” ujar Matt.
Alih-alih menulis
dari sudut pandangnya sendiri, dia menulis sebagai orang asing yang sedang
bicara pada Matt muda.
Menurut Matt proses penulisan buku itu tidak susah karena itu bukan buku self-help, non-fiksi, atau akademis. Dia tidak memusingkan soal genre, pangsa pasar, maupun tanggapan pembacanya. Seperti kebanyakan penulis lain kegiatan menulis bagi Matt itu adalah sesuatu yang memanjakan diri sendiri (self-indulge).
Matt mengakui,
dengan banyaknya jumlah buku yang tersedia saat ini, dia merasakan sedikit
kewajiban untuk menyampaikan sesuatu yang baru dan segar. Namun pada dasarnya
dia berharap buku itu sukses menyampaikan apa yang dia ingin sampaikan.
Harapan Matt
terkabul. Pembaca yang mengalami depresi bisa melihat harapan. Sementara
pembaca yang mengenal seseorang yang dengan gangguan depresi, bisa lebih memahami
keadaan tersebut.
Yang tidak pernah
diduga Matt adalah tanggapan pembaca terkadang membuatnya kewalahan. Bahkan kemiripan
kisah pembaca dengan kisahnya sendiri kerap menjadi pemicu munculnya perasaan negatif.
Seiring berjalannya waktu, Matt belajar untuk lebih berhati-hati, mengambil
jarak, dan tidak menanggapi semua pesan yang masuk. Pernah sekali, ada pesan
yang begitu mendesak, di mana si pengirim nyaris melakukan hal yang buruk. Matt
segera turun tangan dan berhasil menyelamatkannya.
Waktu ditanya
apakah itu buku itu sebuah memoir, Matt
bilang mungkin itu separuh memoir.
Matt menyinggung
sebuah kutipan yang berbunyi “To write a
good memoir, you have to betray someone.”
Matt menolak
melakukannya. Bahkan menurutnya, untuk menulis sebuah memoir yang bagus, penulis harus mengkhianati dirinya sendiri, karena
dia harus menceritakan rahasianya kepada orang banyak.
Matt mengagumi
sosok Elton John yang blak-blakan menyampaikan detil penuh skandal dalam buku
biografinya. “Menurutku, tidak semua orang bisa menulis memoir,” ucap Matt
sambil tersenyum.
Masih tentang Reasons to Stay Alive, Matt sempat
merasa ragu untuk menulis tentang Andrea, pasangannya. Dia khawatir pembaca
yang tidak punya pasangan akan merasa berkecil hati karena akan menghadapi keadaan
depresi sendirian.
Namun pada
akhirnya Matt tetap menuliskan tentang Andrea karena kenyataannya dia tidak
akan melewati masa sulit itu tanpa Andrea. “Tidak menuliskan tentang Andrea
sama dengan mengingkari peran Andrea dalam hidupku.”
Di sinilah saya bilang ‘Oo … pantes’ untuk kedua kalinya. Saya langsung teringat cinta pertama Tom di dalam buku How to Stop the Time, yang sayangnya tidak hidup abadi. Saya ingat bagaimana Tom menggambarkan peran wanita tersebut dalam hidupnya
Saat Marissa menyinggung soal tampilan visual buku Reasons to Stay Alive yang punya banyak ruang putih, Matt bilang ia sengaja memilih seperti itu karena sewaktu dia mengalami depresi, pikirannya berjalan sangat cepat dan dia kesulitan fokus.
Matt menyatakan
bahwa jika ada kesempatan menulis ulang buku tersebut secara berbeda, dia akan
melakukannya untuk merevisi kata commit a suicide. Pasalnya dalam lima tahun terakhir
ada perubahan istilah yang dipakai negara Inggris. Orang-orang mulai
menggunakan istilah ‘death by suicide’
THE COMFORT
BOOK
Pada bulan juli
tahun ini, Matt menerbitkan buku berjudul The Comfort Book (yang akan segera
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia). Matt bilang buku ini bukan tentang penyakit
mental.
The Comfort Book tidak punya struktur awal-tengah-akhir
sehingga bisa mulai dibaca dari mana saja. Mirip dengan cara netizen menikmati
informasi di dunia maya.
Matt bilang isi
di dalamnya adalah kumpulan uneg-unegnya tentang hidup dan banyak hal lain yang
ditulis di media social. Jadi dia menyebut buku terbarunya sebagai e-book hybrid
RENCANA MASA DEPAN
Matt menuturkan bahwa dia tidak akan menulis tentang mental illness lagi kecuali ada alasan yang sangat kuat. Sambil berseloroh dia bilang, “Aku sudah muak menulis tentang diriku sendiri. Lagipula terus-terusan menulis tentang diri sendiri juga tidak sehat.”
Matt sempat menyebutkan
ketertarikannya untuk menulis tentang kecanduan setelah nonton tayangan documenter
di BBC tentang orang yang kecanduan berjudi. Menurutnya, internet punya andil
dalam memperburuk kecanduan manusia. “Dunia dalam genggaman” membuat manusia
kecanduan untuk selalu up-to-date.
Matt sendiri merasa terlalu banyak berada di dunia maya sejak pandemi. Apalagi tahun ini adalah tahun yang sibuk baginya. Selain menerbitkan The Comfort Book, salah satu buku anaknya yang berjudul A Boy Called Christmas diadaptasi menjadi film dan akan tayang di Netflix pada bulan Desember mendatang.
MANFAAT MENULIS
Saat dimintai pendapat
tentang manfaat menulis untuk kesehatan mental, Matt langsung mengungkapkan
rencananya untuk mengurangi kesibukannya di dunia maya pada tahun 2022 dan akan
fokus menulis sebuah karya fiksi untuk dewasa. Disconnect to connect, sebutnya.
Bisa dibilang Matt
suka menulis karena kegiatan tersebut mirip dengan terapi. Pada dasarnya terapi
adalah proses mengkomunikasikan sesuatu. Setiap orang memerlukan seorang
terapis yang bersedia mendengarkan dan memahami. Matt merasa bahwa dia adalah
tipe yang lebih mudah menulis daripada bicara.
Matt percaya bahwa fiction is non-fiction in disguise. Karya fiksi adalah sebuah kebenaran emosional tentang manusia. Fiksi bisa mengeksplorasi sesuatu yang tidak bisa dilakukan manusia dalam dunia nyata.
*Oh I couldn’t agree
more on this, Matt.
Matt mengakui menulis fiksi kadang bisa bikin stress. Misalnya ketika mendapat pesan tidak mengenakkan dari editor, berurusan dengan tenggat waktu, atau mendapat ulasan yang buruk.
Namun menulis
adalah sebuah proses meditatif yang pelan dan menenangkan. Menulis novel butuh
waktu panjang, dengan begitu penulis juga memerlukan waktu lebih panjang lagi
untuk mendapat pujian. Berkebalikan dengan caption
di Instagram dan twitter yang bisa mendapat like
dan comment dalam hitungan detik.
Dengan begitu, menulis bisa membuatnya lebih tenang dan pikirannya bekerja
lebih pelan.
MEMAHAMI KEHIDUPAN
Matt percaya kesehatan
mental mirip seperti sungai, seharusnya ia mengalir. Saat seseorang mulai membuat
bendungan untuk menahan sesuatu, saat itulah bahaya mulai mengintai.
Di dunia ini yang
abadi adalah perubahan. Meski terdengar aneh, ketidakpastian adalah dasar dari
harapan. Karena pada dasarnya, harapan itu sendiri adalah sesuatu yang tidak
pasti.
Kesadaran tentang
hal itu menurutnya akan mendatangkan rasa nyaman. Bukan karena kita mengingkari
kenyataan, melainkan karena memperhitungkan sebuah kemungkinan.
Bila hidup saat
ini terasa berat dan tidak menyenangkan, kita bisa berharap bahwa hidup akan berubah dan jadi lebih baik di masa
depan.
Kecemasan
biasanya muncul saat kita berusaha mengendalikan perubahan atau berusaha
meletakkan kehidupan dalam perencanaan dan jadwal. “We need to go with the flow of uncertainty,” sebutnya.
Jadi pingin baca buku-bukunya.
ReplyDeleteAgendakan, Mba. Bagus bagus kok
Delete