Fondasi yang Tak Tergoyahkan

Maret lalu saya dapat kesempatan ikut workshop Litara bersama Let’s Read. Ngapain aja sih selama delapan jam dikali tiga hari itu? Belajar, praktek, diskusi, dan request lagu.

Ngomong- ngomong soal lagu, Hati-hati di Jalan yang diputar di break hari pertama kayanya adalah hint halus dari penyelenggara. Hihi…

Kukira tak kan ada kendala

Kukira ini kan mudah

Workshop Litara adalah kawah candradimuka. Prestis buku-buku Litara tidak didapatkan tanpa alasan. Penulis harus tangguh melewati proses yang panjang. Kalau berhasil survive, bisa punya otot kawat, balung wesi dan mental baja.

Materi yang dibahas di workshop sebenarnya tidak berbeda dari workshop penulisan yang lain. Antara lain:

  • Penokohan 3 dimensi (meliputi fisik, psikologis, dan sosial tokoh)
  • Struktur cerita (meliputi beginning-middle-end atau yang disingkat BME)
  • Premis cerita (objective-motivation-obstacle dan biasa disebut OMO)

Unsur-unsur fiksi sudah diajarkan sejak kelas empat SD. Sebagai penulis mestinya kita juga sudah ngelothok dengan formula tersebut. Namun nyatanya para penulis terpilih (termasuk saya) cukup berkeringat mengurusi penokohan dan premis cerita.

Mentor dan fasilitator tak bosan mengingatkan agar penulis sabar. Jangan buru-buru segera nulis cerita. Benerin pondasi dulu.

Sumber: pixabay.com

Jika premis dan karakter masih bikin pembaca bingung, berarti memang ada yang belum beres. Jika penulis masih harus menjelaskan premis/ karakternya secara lisan, berarti tulisannya belum sempurna menyampaikan apa yang ada di benaknya.

A good piece of writing will speak for itself

Merumuskan premis cerita dalam satu kalimat SAMA SEKALI tidak mudah. Berikut adalah kutipan cadas yang saya baca dari buku Find Your Why Simon Sanek:

Dalam satu kalimat, sulit menangkis atau menghindari atau bersembunyi di balik bermacam jargon. Satu kalimat adalah unit terkecil yang mutlak. Satu kalimat biasanya lebih jujur.

Setelah penokohan dan premis sudah air tight seperti Tupperware, barulah penulis melanjutkan proses menulis.  Premis berfungsi sebagai kompas. Dalam perjalanan menulis, kadang cerita melenceng dari premis. Nah di sini penulis bisa menganalisa. Perlukah “meluruskan” ceritanya agar sejalan dengan premis atau malah mengganti premis?


Salah satu sesi paling berharga di workshop ini adalah sesi tanya jawab. Berikut adalah beberapa yang sempat saya catat dari sesi yang dipandu Mbak Eva di hari pertama:

1.  Boleh saja membuat karakter cerita yang terinspirasi dari tokoh nyata. Misal: anak, keponakan, atau tetangga kita. Namun jangan lupa bersikap fleksibel saat harus ada penyesuaian karakter demi kepentingan cerita.

2. Boleh saja mengangkat tema yang sudah umum, tapi keunikan dan kebaruan adalah keharusan. Penulis bisa menggunakan sudut pandang yang berbeda atau kejadian yang berbeda. 

Referensi    : Aku suka caramu – Literacy Cloud

3. Boleh saja membuat open ending untuk buku anak. Namun masalah dari sang tokoh harus “selesai” lebih dulu. Kalau setelah resolution akan ada twist lagi (yang kadang membuka kemungkinan untuk munculnya cerita baru) boleh saja.

Referensi    : Krauk Krauk – Literacy Cloud

4. Boleh buat tokoh dewasa di buku anak, tapi perlu ada kesamaan antara tokoh tersebut dengan anak. Misal: kikuk, pelupa, atau tidak bisa nak sepeda

Referensi    : Kring Kring - Literacy Cloud

5. Boleh saja membuat tokoh antihero sebagai karakter utama dalam buku anak. Misalnya tokoh yang penakut, serakah, pandir, mudah menyerah, atau serakah

Referensi    : I Belog – Literacy Cloud

6. Boleh saja membuat cerita dengan tema berat atau getir, tetapi harus ada tetap harapan di akhir.

Referensi     : Teman Baru Epi - Literacy Cloud

7. Boleh saja membuat premis negatif (menggunakan kata tidak) misal: Aku tidak mau mandi.

Referensi     : Kue Ulang Tahun Mbak Widi – Literacy Cloud

8. Boleh saja membuat tokoh yang seolah tidak bertobat di akhir cerita, tetapi untuk sesuatu yang sifatnya tidak jahat. Misal tokoh usil yang berniat kembali melakukan keusilan. Namun untuk tokoh yang “jahat”, disarankan agar tokoh mengalami transformasi di akhir cerita.

9. Untuk tema dan kasus yang kompleks atau berat, boleh saja karakter anak melakukan langkah demi langkah solusi dengan pendampingan orang dewasa, tapi jangan menghilangkan penyelesaian khas anak-anak. Berikan ruang agar anak-anak menjadi tokoh utama di cerita mereka.

Referensi     : Ikan Tipis – Let’s Read

Buku-buku yang dijadikan referensi di atas, dapat dibaca gratis di laman Literacy Cloud atau Let's Read, lho. Mana saja yang sudah kamu baca?

 

Comments

Popular posts from this blog

Perempuan-perempuan Hebat di Drama Korea

Ngopi Bersama Alberthiene Endah

Kelas Menulis TaCita 2021 Bersama Kak Reda dan Kak Naya