AFCC Singapore 2017 - First Page Critique
Selain speed pitching, ada satu sesi lain yang saya nanti-nantikan
di AFCC. Namanya, First Page Critique.
Berbeda dengan speed pitching yang perlu seleksi, semua peserta
writers and illustrators conference boleh mengirim satu naskah untuk diikutkan sesi
First Page Critique
.
Saya sendiri sudah pernah ikut sesi semacam ini dua setengah
tahun yang lalu, ketika mengikuti workshop mba Ary Nilandari di Yogyakarta. Dan…saya
ketagihan. Jadi saya ingin mengulang adrenaline
rush pada level internasional. Haiiss….
Intinya, peserta diminta untuk mengirimkan seratus kata
pertama dari karyanya melalui email, beberapa minggu sebelum AFCC dimulai. Di
dalam dokumen, peserta juga perlu menginformasikan genre buku dan word count naskah
utuh.
Ketika sesi First Page berlangsung, karya yang telah terkumpul akan bergantian
ditampilkan di layar secara anonim untuk dikomentari oleh editor.
Tujuan dari sesi ini sebenarnya adalah mengetahui apakah seratus
kata pertamamu bisa memikat perhatian editor dan membuat mereka melanjutkan
membaca naskahmu.
Konon, di jaman super sibuk ini, jika bagian awal naskahmu
tidak berhasil menarik perhatian editor, you are out.
Saya pribadi senang dengan anonimitas dari sesi ini karena:
1.
Editor bisa secara jujur menilai naskah tanpa
takut membuat baper penulis.
2.
Peserta sesi bisa mempelajari kekuatan dan
kelemahan naskah penulis lain (meskipun mereka tidak mengumpulkan naskah mereka
sendiri)
3.
Penulis tidak akan ngompol di celana karena
dikomentari di depan orang banyak.
Tiga komentator yang hadir First Page Critique 2017 adalah:
1. Lee Battersby, seorang penulis dari Australia.
2. Cynthea Liu, seorang penulis, editor sekaligus presiden
Start with us, yang tinggal di Amerika.
3. Susan Long, editor dan jurnalis yang sekarang
menjabat sebagai GM Straits Times Press Singapore.
Selain tiga orang di atas, Kathleen Ahrens juga hadir
sebagai moderator yang bertugas membacakan naskah.
Ruangan begitu berjubel sore itu. Meski ‘tersembunyi’, tetap
saja perut terasa melilit ketika melihat naskah saya ditampilkan di layar.
Sambil ngewel, saya merekam komentar para panelis.
Panelis A bilang bahwa naskah saya keren. Dalam seratus
kata, kekuatan tokoh utama saya langsung terlihat. Naskah itu diatur dengan
sangat indah sehingga 100 kata berhenti pada bagian yang pas. Saya memberi ‘bocoran’
masalah yang akan terjadi berikutnya, sehingga pembaca sibuk menduga-duga apa
yang akan terjadi. In short, it is tantalizing. Beliau jelas ingin membaca
lebih lanjut dan tahu seperti apa akhir ceritanya. Selain itu beliau juga
menyoroti beberapa kalimat yang mestinya bisa dipangkas.
Secara garis besar, panelis B setuju dengan panelis A. Selain
mengomentari beberapa kesalahan grammar
(ouch), beliau juga menyarankan untuk mengurangi pengulangan kalimat. Beliau
menutup komentar dengan memberi saran untuk mengubah judul (cuma ngurangi satu
huruf!) untuk menciptakan kesan lebih intim.
Panelis C mengambil mikrofon dan bilang, “Saya bingung baca
naskah ini.” (Ziiiiing). Beliau bilang ada begitu banyak informasi yang
terpencar di sana sini. Untuk sebuah picture book, set up dari cerita saya
terlalu panjang. Beliau pun menyarankan menyingkat bagian awal dengan
mengurangi kata dan ‘berbagi tugas’ dengan ilustrasi. Meski mengatakan akan tetap
membaca naskah saya sampai selesai, beliau tetap merasa ada something missing di dalam naskah.
Menarik sekali ya?
Bukan naskah saya. Komentar para panelisnya.
Setiap kali memutar ulang rekaman itu, saya makin percaya pada
istilah no one reads the same book. Seseorang membaca sebuah karya menggunakan kaca mata mereka masing-masing. Jadi respon tiap orang akan selalu subyektif. You may agree or disagree. Simple.
Anyway, saya tidak tinggal sampai semua naskah selesai
ditampilkan, karena saya ingin ikut sesi yang lain. Saya juga tidak mencatat
komentar editor dengan detil. Kan, saya tidak bawa ballpoint. Namun ada beberapa
hal yang berhasil nyantol di kepala hingga saat ini.
Antara lain:
Hindari menulis hal-hal yang biasa dialami semua orang (mundane).
Terutama dalam naskah picture book di mana kuota kata terbatas.
Misalnya: Hani
bangun pagi seperti biasa. Yeah...yeah…semua orang memulai hari mereka dengan
bangun.
Hindari menulis gerakan yang detil. Seperti film dalam slow
motion mode. Toh, dalam kehidupan nyata kita tidak selalu merasakan gerakan
sedetil itu.
Misalnya: Amos berdiri untuk melakukan pemanasan. Ia menekuk
lututnya perlahan dan merasakan otot-otot kakinya menegang. Paru-parunya
menggembung ketika ia menarik nafas dalam dalam….dst.
Hindari menulis dialog kosong yang panjaaaang. Pastikan
dialogmu ‘bermanfaat’. Entah untuk menggerakkan plot, menunjukkan karakter si
pembicara atau memberikan informasi penting dalam cerita.
Oh, iya. Salah satu cara yang saya lakukan sebelum ikut sesi
ini adalah menulis ulang seratus kata pertama dari picture book favorit saya di
halaman kosong, lalu membacanya tanpa ilustrasi. Masihkah deretan kata itu menawan
hati?
Now, chop chop authors. Saatnya memeriksa naskah kita masing masing.
Comments
Post a Comment