That door told me a story


Ceritanya saya pindah ke rumah baru di daerah Sewon. Pintu kamar mandi saya sering berderak ditiup angin. Awalnya sih sempat kaget dan parno. Lama-lama terbiasa juga. Bahkan akhirnya pintu itu menuturkan sebuah cerita.
Saya sempat melakukan riset kecil mengenai gebyok. Waktu itu Langit masih les nari di Rumah Budaya Tembi. Saya bertemu dengan Pak Herjaka yang menemani saya keliling museum dan bercerita soal gebyok. 
Beliau yang kebetulan juga penulis, rajin bertanya apakah cerita gebyok tersebut sudah dimuat. Sayangnya, saya tidak sempat bertemu langsung dengan beliau untuk memberitahukan bahwa cerita ini akhrinya dimuat. Soalnya saya keburu pindah ke Surabaya.
Ah, jadi kangen Tembi. Happy reading, all.


Gebyok Lotus

Pintu gebyok di rumahku hidup. Aku tahu sejak hari pertama tiba di rumah ini. Aku yang tengah berpegangan padanya sebelum melangkah masuk, merasakan denyut jantung. Terkejut, cepat-cepat kutarik tanganku. Ketika kucoba lagi dua hari kemudian, denyut itu tetap terasa. Bahkan jika rumah sedang sepi, aku bisa mendengar detaknya. Pelan dan stabil.
Tentu saja aku tidak menceritakan hal ini kepada siapa pun. Tidak pada Robin yang jarang datang, tidak juga pada Mak Santi dan Bli Nyoman yang tinggal bersamaku. Mereka akan menganggapku gila. Tapi aku tahu aku tidak gila. Pintu itu memang hidup. Jadi kuputuskan untuk menyimpan rahasia ini sendiri.
Bli Nyoman yang sudah menjaga rumah ini selama puluhan tahun menceritakan padaku sejarah pintu itu.
“Gebyok ini umurnya sudah lebih dari seratus tahun, Non.”
Agung Raka, pemilik rumah ini sebelumnya, mewarisinya dari sang buyut. Konon gebyok ini dijual oleh seorang saudagar dari Kudus yang bangkrut.
“Pasti sabar sekali orang yang membuatnya,” gumamku.
Menurut Bli Nyoman, begitulah gaya ukiran Mataram. Halus, berlekuk, rumit. Gebyok ini memiliki daun pintu yang berukir Lotus. Ketika pintu dibuka, lotusnya akan terbelah. Seolah menyambut siapa pun untuk masuk ke dalam dunianya. Jauh-jauh dibawa dari Kudus ke Bali. Berapa banyak kisah yang telah kau saksikan?
Aku memanggilnya Lotus dan aku suka duduk di dekatnya. Aku berharap ia menceritakan sesuatu padaku, sehingga pikiranku teralihkan dari hal-hal yang tak perlu. Namun ia hanya diam.
*
“Iya. Nanti kuminta Ramto mengurusnya. Salam buat anak-anak.”
Robin mengakhiri telepon itu dengan bunyi ciuman yang memuakkan. 
“Kebun mawar Felani diserang ulat,” ujar Robin sambil menghempaskan tubuhnya kembali ke kursi makan. Ia kelihatan lelah.
“Sampai mana tadi?” tanya Robin.
Aku baru saja melanjutkan ceritaku ketika ponselnya berbunyi lagi.
“Dari kantor,” gumamnya sebelum beranjak lagi.
Aku menghela nafas panjang. Kupikir setelah berkali-kali terjadi, aku akan terbiasa. Ternyata tidak. Robin hanya berada di rumah ini selama beberapa hari dalam sebulan. Namun dalam waktu sesingkat itu, aku masih saja harus membaginya. Dengan pekerjaan yang tidak pernah selesai. Dengan anak istrinya yang selalu meminta perhatian.
Ide untuk pindah ke sebuah rumah kini terasa konyol. Ukurannya yang besar hanya mengingatkanku pada kesepian. Kamar kosku yang menurut Robin sumpek, terasa jauh lebih hangat. Apalagi teman-temanku tinggal hanya lima langkah dariku.
Aku merasakan sebuah kecupan di pipiku. Robin ternyata sudah ada di belakangku. Tangannya yang bergerak menuju dadaku kutepis pelan.
Robin mendecak.  “Sekarang apa lagi? Kamu ingin selembar surat cerai atau seorang anak?”
Aku tersengat mendengar kalimatnya. Kami sudah melewati bulan-bulan penuh perdebatan yang melelahkan. Aku berusaha paham bahwa ia tidak akan pernah menceraikan Felani. Dan ia juga tidak menginginkan anak dariku. Dua anak yang ia miliki di Jakarta sudah cukup merepotkan.
“Seorang simpanan pun punya hak untuk diperhatikan,” semburku sebelum bisa menahannya.
Air mataku menetes tepat ketika pintu kamar kukunci.
*
Rumah yang kutempati berada di tengah hamparan sawah. Rumah lain di kiri kanan kami berfungsi sebagai villa yang hanya ditempati sesekali. Robin melarangku menemui teman-teman lamaku. Ia tak ingin mereka bertanya-tanya mengenai hubungan kami. Sehari-hari Mak Santi sibuk membuat canang dan memasak. Sementara rumah ini selalu punya pekerjaan untuk dilakukan Bli Nyoman. Aku pun makin sering duduk di dekat Lotus.
Aku tidak tahu apa yang kuharapkan darinya. Ia hanyalah sebuah pintu. Tapi setidaknya, ia selalu ada untukku. Aku mulai bercerita padanya. Ternyata tak butuh waktu lama untuk membiasakan diri berbicara dengan sebuah pintu. Aku hanya perlu memastikan Bli Nyoman dan Mak Santi tidak sedang berada di dekatku.
Lotus adalah pendengar yang baik. Ia tidak mendua perhatian. Ia tidak menyela. Ia tidak repot-repot memberi nasehat ini itu. Tapi aku tahu kalau ia benar-benar mendengarkanku. Detak jantungnya berubah sesuai dengan ceritaku. Aku merasa lebih baik tiap kali bertemu dengannya. Kemudian musim hujan datang.
Lotus tidak menyatu dengan bangunan utama. Ia berdiri di bawah langit terbuka, menghadap ke sebuah taman. Berbincang dengannya berarti berdiri di bawah hujan. Jika angin berhembus keras, payung yang kupakai nyaris tak berguna. Seminggu setelah hujan pertama turun, aku demam.
Pintu kamarku dibuka tanpa diketuk sebelumnya. Hanya ada satu orang yang bisa melakukan itu.
“Kamu baik-baik saja?” Robin masuk dengan wajah khawatir.
Aku mengangguk dan merasa sedikit menyesal. Pada kunjungan terakhirnya, Robin tidak sempat mengucapkan selamat tinggal. Aku menolak membuka pintu kamar waktu itu. Kulirik kalender di samping tempat tidur. Seharusnya Robin baru datang minggu depan.
“Bli Nyoman yang menelponku. Dia bilang kamu sengaja berdiri di bawah hujan.”
Aku cemberut. Bli Nyoman ternyata suka mengadu.
“Jangan lagi membuatku khawatir seperti ini. Akan kuusahakan untuk datang lebih sering, pembukaan kantor baru ini benar-benar menguras tenaga dan pikiranku.”
Kalau saja tenggorokanku tidak sesakit ini, aku akan bilang bahwa aku tidak sedang mengemis perhatian. Aku bukan Felani. Tapi apa yang akan kujelaskan padanya? Bahwa aku hanya menghabiskan waktu bersama teman rahasiaku? Akhirnya aku mengangguk. Lebih baik ia berpikiran demikian.
Tiga hari ini hujan turun lebat sekali. Robin bilang, ini adalah dampak dari sebuah badai yang sedang berlangsung di Australia. Ia melarangku keluar rumah. Dan karena semua penerbangan ke Jakarta dibatalkan, ia menghabiskan waktu lebih lama bersamaku.
“Kalau badai ini sudah berlalu, kita jalan-jalan ke pantai, ya?” Robin meremas pundakku.
Aku hanya tersenyum. Ia salah mengartikan pandangan sedihku ke luar rumah. Aku bukan meratapi nasibku. Aku meratapi sehabat baikku yang berdiri sendirian di cuaca seperti ini. Teman macam apa aku ini?
Begitu cuaca kembali normal, Robin pulang ke Jakarta. Belum pernah aku merasa segembira ini ketika melepasnya pergi. Dengan kepala yang masih berat, aku mendatangi Lotus. Kupeluk tubuhnya yang lembab dengan kerinduan yang sangat dan sedikit rasa bersalah. Aku minta maaf karena meninggalkannya selama berhari-hari. Sebelum sempat kukatakan kenapa, aku merasakan kehadiran orang lain.
“Selamat sore,” sapa suara itu.
Wajahku memanas. Apakah pria paruh baya ini sempat mendengar aku bicara pada Lotus?
“Maaf mengejutkan. Saya sudah minta ijin pada Pak Robin untuk melepas rindu barang sebentar.”
Aku langsung tahu siapa dirinya. Aku cepat-cepat memperkenalkan diri.
“Saya harus pulang,” ujar Agung Raka setelah menyambut tanganku. “Senang rasanya melihat rumah ini dirawat dengan baik.”
Aku mengangguk. Akan kusampaikan hal ini pada Bli Nyoman dan Mak Santi.
“Terlebih, saya lega. Ternyata Gebyok tidak kesepian.”
Jantungku berhenti berdetak sesaat. Pasti aku salah dengar. Aku hendak memastikan hal itu, ketika tubuhku terasa gamang. Lalu semuanya menjadi gelap.
Hal pertama yang kulihat ketika sadar adalah langit-langit kamarku. Kemudian kurasakan nyeri di kepala bagian kiri. Mungkin terantuk sesuatu ketika aku pingsan tadi. Mak Santi masuk membawa segelas teh jahe. Ia bilang Gung Raka yang membopongku masuk.
“Kita ke dokter ya, Non?” bujuk Mak Santi.
Aku menggeleng. Kujelaskan padanya bahwa aku hanya butuh istirahat. Wajah Mak Santi tampak ragu, namun ia tidak mendebat. Setelahnya aku tidak sempat memikirkan ucapan Gung Raka. Ada hal lain yang lebih penting. Dan waktuku tak banyak.
Dua minggu kemudian, Robin datang untuk menepati janji. Ia mengajakku menginap di sebuah resor etnik nan romantis di Singaraja. Begitu kami tiba, aku muntah hebat.
“Buruk sekalikah caraku menyetir?” tanya Robin sambil memijit tengkukku.
Aku tidak menjawab. Terlalu sibuk memuntahkan isi perut. Nanti akan kujelaskan bahwa perjalanan dua jam yang baru saja kami tempuh bukanlah medan yang mudah.
Hari-hari di Singaraja terasa seperti bulan madu yang tak pernah kami miliki. Robin menahan diri untuk tidak menggunakan ponselnya. Ia hanya terlihat sesekali mengetik pesan singkat. Kami menghabiskan waktu dengan snorkeling, mengejar lumba-lumba atau sekadar bermalas-malasan di kamar. Aku lupa kapan terakhir kali aku merasa sebahagia ini. Karenanya aku terus menunda untuk memberi tahu Robin. Aku tak ingin merusak suasana ini.
Rencananya kami menginap selama seminggu. Tapi pada hari ketiga aku merasa gelisah. Aku tidak bisa menjelaskan kenapa tapi aku ingin sekali pulang.
“Kalau kamu bosan di sini, kita bisa pindah ke tempat lain.”
Sikap Robin yang berbeda semakin membuatku bertanya-tanya. Biasanya ia akan gelisah jika menarik diri terlalu lama dari dunia. Kukatakan padanya bahwa aku tak ingin istrinya curiga. Dengan berat hati, akhirnya Robin berkemas.
*
Ada kepulan asap membumbung ketika kami mendekati rumah. Meski terlihat tegang, Robin tidak tampak terkejut. Ia menghentikan mobil di depan gerbang. Aku menghambur masuk sebelum ia sempat mencegahku. Ternyata rumah kami tidak terbakar. Hanya Lotus yang berkobar. Anehnya, Bli Nyoman dan Mak Santi hanya berdiri tanpa melakukan apa pun untuk menyelamatkan gebyok itu.
Suara Bli Nyoman meningkahi bunyi gemeretak kayu terbakar. “Saya sudah mencoba semua cara. Tapi dia bergeming. Bahkan ia tidak segera hangus.”
Aku tahu ia tidak sedang berbicara denganku. Ia sedang menatap seseorang di belakangku. Robin.
“Tambah lagi bensinnya,” jawab Robin dingin.
Punggungku dirayapi dingin. Robin sengaja melakukan ini? Kenapa? Berbagai kemungkinan bermain pikiranku. Aku tak tahu mana yang benar. Sebelum aku bisa menemukan jawabannya, kakiku sudah berlari menghampiri Lotus. Aku memeluknya erat, berharap bisa melindunginya dari api.
Teriakan histeris di belakangku memudar. Berganti dengan bisikan serupa angin. Suara Lotus. Ia menceritakan semua hal yang didengarnya selama lebih dari seabad. Pertikaian, angkara murka, cinta tak sampai, keserakahan, kebohongan, kesepian. Kemudian ia menceritakan kisahku sendiri. Ayah yang meninggalkan aku dan Ibu demi wanita lain. Ibu yang patah hati dan bunuh diri. Aku yang bertahan hidup sendiri. Bayi yang terpaksa kugugurkan demi menuruti permintaan Robin. Kemudian sepasang tangan menarikku menjauh dari Lotus.
Gung Raka mendudukkanku di atas rumput. Ia tidak mengatakan apa pun. Ia hanya menatapku dengan tatapan mengerti. Robin berdiri mematung tak jauh dari kami. Ia membelalak tak percaya. Aku baru tahu apa sebabnya. Tubuhku dan tubuh Gung Raka sama sekali tidak terluka.
Kini aku tahu apa yang harus kulakukan. Aku akan mempertahankan janin ini. Kusentuh perutku pelan dan kurasakan detak jantung di dalamnya. Ia akan kunamai Lotus.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Perempuan-perempuan Hebat di Drama Korea

Ngopi Bersama Alberthiene Endah

Kelas Menulis TaCita 2021 Bersama Kak Reda dan Kak Naya