Keliling Kota Surabaya Naik Bus Tumpuk
Sebenarnya sudah lama
saya berencana mengajak anak-anak naik bus tumpuk. Selain menunggu
jumlah botol plastik bekas yang kami kumpulkan cukup, saya maju mundur
memilih hari yang sepi.
Impulsively, pilihan jatuh di hari raya
kedua. Tanpa persiapan yang sesuai dengan standar golongan darah A. Melek, mandi, mengemas botol, memesan Grab,
membawa bekal dan baju ganti. Off we go at 6.30 am.
Driver menurunkan kami di pintu keluar Terminal dekat kantor Gudang Garam. Dia bilang, biasanya bus yang saya cari ada di pojokan. Off course the bus was not there.
Driver menurunkan kami di pintu keluar Terminal dekat kantor Gudang Garam. Dia bilang, biasanya bus yang saya cari ada di pojokan. Off course the bus was not there.
Kami jalan sekitar 200
meter dan langsung histeris melihat bus tumpuk dari kejauhan.
Petugas parkir
menunjuk sebuah pos kecil berwarna oranye untuk menukarkan botol dengan
tiket. Meski saya sudah ngublek info di google dan
akun sosmed resmi Suroboyo Bus dan Dishub
Surabaya, ternyata masih saja ada beberapa info yang tidak
saya ketahui.
Penukaran sampah memang
baru bisa dilakukan pukul tujuh pagi, tetapi bus tumpuk yang pertama
tetap berangkat pukul enam. Asumsi saya sih, penukaran sampah dilakukan
di dalam bus.
Selisih keberangkatan
setiap bus adalah sekitar 20 menit. Polanya: 1 bus tumpuk, 3
suroboyo bus dan berulang seperti itu terus.
Wait,
what? Saya
masih harus nunggu sekitar empat puluh menit lagi di terminal? Dengan dua gadis
hedon ini??
Syukurlah mereka ngga
rewel. Bekal dihabiskan dengan seksama. Memakai toilet umum pun
tanpa drama. Untung aja kami berangkat pagi dan cuaca belum terlalu panas.
Finally, our
turn has come.
Mas Nanda, kondektur yang bertugas hari itu, melubangi kartu sampah dan mencetak bukti pembayaran setiap penumpang.
Berikut tips dan trik
untuk naik bus dengan nyaman:
- Usahakan anak anak kenyang atau cukup ngemil sebelum naik bus karena ada larangan makan di dalam bus.
- Pastikan semua sudah pergi ke toilet, karena di
dalam bus tidak ada toilet.
- Jangan diam-diam ciuman. Pak sopir bisa ikut nonton dari layar di samping kemudi.
- Bawa jaket dan topi. Pendingin ruangannya luar biasa.
Anak anak bawa, saya engga. Alhasil saya kerokan sepulang naik
bus.
- Pilih tempat duduk yang kena panas matahari, karena
kita tidak bisa sembarangan ganti kursi selama perjalanan. Apalagi kalau
bus penuh.
- Rencananya kami akan turun di Perpustakaan Bank
Indonesia. Namun karena perpustakaannya tutup, saya memilih
ikut round trip. Seandainya saya turun dari bus untuk
pergi ke suatu tempat, saya punya waktu dua jam dari time
stamp yang tertera di bukti pembayaran untuk bisa kembali naik
bus dengan gratis.
Di setiap halte,
bus berhenti dan membuka pintu meskipun tidak ada penumpang yang naik.
Ternyata Mas Nanda harus turun dan memindai stiker barcode yang
ada di setiap halte.
Di jalan, tetiba saya
ingat kalau transportasi online dilarang masuk ke dalam
terminal. Terbayang rempongnya membawa dua anak ini ke pintu keluar untuk
menunggu taksi. Akhirnya saya putuskan turun di halte terakhir sebelum
bus masuk ke terminal. Barulah saya sadar kalau bus ini tidak
punya pegangan di langit-langit. Lumayan susah euy bawa
dua anak turun dari atas ke bawah untuk bersiap sebelum tiba di halte yang
dituju.
Mungkin ada cara untuk
memberitahu pak sopir atau kondektur kalau kita hendak turun, tapi saya
yang ngga tahu. Soalnya kalau saya nekat mengetuk pegangan kursi pakai
koin, takut dikira terlempar dari tahun 1990.
Mas Nanda kembali
memindai barcode yang ada di bukti pembayaran saya. Ada
sekitar sepuluh orang yang juga bersiap turun di halte tersebut.
Ketika pintu bus
terbuka saya melongo. WTH?!?
Yang saya bayangkan
adalah halte seperti ini.
Ternyata kami turun di
pinggir jalan raya Ahmad Yani. Literally on the asphalt street. How
on earth, saya bisa jaga dua anak dan pesan taksi di situ??
Then I took a decision which turned out to be the best, but still gave me nightmare for some nights. Saya bawa anak anak lompat kawat, menyeberangi rel kereta tanpa gardu lalu, menyeberang got besar pakai jembatan bambu ala kadarnya, untuk mencapai titik tunggu yang lebih nyaman di frontage Ahmad Yani.
Then I took a decision which turned out to be the best, but still gave me nightmare for some nights. Saya bawa anak anak lompat kawat, menyeberangi rel kereta tanpa gardu lalu, menyeberang got besar pakai jembatan bambu ala kadarnya, untuk mencapai titik tunggu yang lebih nyaman di frontage Ahmad Yani.
Si Sulung yang dididik dengan standar keamanan tinggi sudah hampir menangis. Si Bungsu bahkan tidak sadar apa yang terjadi. Saya belum bisa berhenti misuh dalam hati.
Syukurlah all
ended well. Hati senang. Taksi datang. Si kecil tak lama tumbang.
Di taksi saya tanya
Langit, "Jadi gimana Kak? Senang?"
Dia bilang,
"Seneng sih. Tapi aku ngga mau naik bis lagi, ah. Membosankan.
Cuma gitu-gitu aja."
Ya elaaah...
Yang engga biasa ya naik Tayo, Nak.
Yang engga biasa ya naik Tayo, Nak.
Nuker sampahnya berapa banyak mbak sekali naik?
ReplyDelete