Resensi The Silkworm

Judul : The Silkworm (Ulat Sutra)
Penulis : Robert Galbraith
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Halaman : 536 halaman
Harga : Rp 119.000,-
Cetakan : Oktober 2014

Owen Quine, seorang penulis eksentrik, menghilang. Sang istri yang panik meminta bantuan  seorang detektif partikelir - Cormoran Strike untuk membawa suaminya pulang. Ketika memulai penyelidikan, Cormoran mulai curiga bahwa Owen tidak sedang ngambekdan cari perhatian seperti biasa. Dugaannya terbukti, ketika Owen akhirnya ditemukan. Tak hanya dibunuh secara brutal, tempat kejadian perkara pun diatur menyerupai sebuah jamuan. Apakah pembunuhan Owen berhubungan dengan novel barunya yang kontroversial?

Saya selalu mudah jatuh cinta dengan cerita misteri (detektif) yang berlatar belakang Inggris. Selain membuat saya bernolstagia dengan karya-karya Enid Blyton dan Agatha Christie, Inggris adalah salah satu negara yang sangat ingin saya kunjungi. Itulah sebabnya, saya sulit berhenti membaca The Silkworm. Deskripsi Galbraith a.k.a Rowling yang detil, berhasil membawa saya berjalan menyusuri jalanan dan café di London, dan membuat saya tak ingin pulang.

  Omong-omong soal café, saya sempat geli dengan kekesalan Cormoran Strike yangharus berkali-kali menjamu kliennya di café. Seorang teman yang tinggal di London pernah berkomentar  bahwa dining out adalah kemewahan yang mungkin hanya bisa dilakukan sebulan sekali oleh kelas pekerja. Jadi saya bisa memahami perasaan Cormoran yang masih belum mendapat kejelasan apakah ia akan dibayar untuk kasus ini.

  Konflik di novel ini, dengan berat hati harus saya katakan, kurang tajam dan berliku. Tapi, saya tetap tidak bisa menebak siapa pembunuh Owen, sih. Di sisi lain, saya memberi dua jempol untuk penulis karena berhasil menciptakan karakter-karakter yang sangat kuat. Catat, bukan hanya karakter utama. Jadi saya kurang setuju dengan pendapat yang ‘menyamakan’ Cormoran dan Robin dengan Holmes dan Watson. Menurut saya, kedua jagoan The Silkworm sukses menjadi diri mereka sendiri. Selain itu, Holmes tidak pernah terpesona oleh ketampanan Watson, kan?

  Sebagai alumni jurusan sastra, saya suka dengan buku yang bercerita tentang buku. Menurut saya itu tindakan berani. Dan untunglah, The Silkworm tidak mengecewakan pembacanya. Senang rasanya bisa menambah pengetahuan tentang aliran Jacobean. Selain itu, novel ini juga diperkaya dengan kutipan-kutipan karya sastra yang mengawali setiap babnya. Sedikit pamer referensi, sihBut it works. Itu membuktikan bahwa Rowling bekerja keras menulis sebagai Galbraith.

  Ada satu kalimat di buku yang cukup menyentil. Kutipan bebasnya kurang lebih seperti ini: “Jaman sekarang semua orang ingin jadi penulis. Tapi tidak ada yang membaca karya-karya mereka.”  Hard truth about life, eh?

Kesimpulannya? Saya PASTI akan membaca novel Cormoran Strike berikutnya. Dan saya menantikan hari di mana The Silkworm diangkat menjadi sebuah film layar lebar (kalau bisa, oleh produser Inggris).

Comments

Popular posts from this blog

Perempuan-perempuan Hebat di Drama Korea

Ngopi Bersama Alberthiene Endah

Kelas Menulis TaCita 2021 Bersama Kak Reda dan Kak Naya