Kejutan Tengah Malam - Kompas, 24 Mei 2015
Grusak!
Aku
segera mencari sumber suara tadi. Dari balik semak-semak, kulihat sosok tambun berbulu
yang sangat mencurigakan. Tanpa suara, kusergap dia dengan tiba-tiba.
“PETOK!!”
si tambun berteriak kaget. Ia berusaha terbang, tetapi tidak berhasil. Ketika kukejar,
ia lari tunggang-langgang meninggalkan halaman rumah.
“Fido!”
kudengar sebuah teriakan dari belakangku.
Aku
menoleh dan mendapati Ello sedang berdiri sambil berkacak pinggang.
“Kenapa
kamu kejar ayam Pak Seno? Dia kan hanya cari makan,” omelnya.
Aku
berusaha menjelaskan bahwa si tambun tadi adalah mata-mata, tapi Ello malah
menghardikku.
“Masuk ke rumah!”
Dengan
sebal kuturuti perintahnya. Sebenarnya aku lebih suka berlarian di luar, meski
lidahku akan berkeringat setelahnya.
Sudah
hampir seminggu aku tinggal bersama Ello, tetapi anak itu belum juga mempercayaiku.
Berkali-kali kukatakan bahwa aku hanya ingin melindunginya, seperti pesan Pak Toni.
Pak
Toni adalah seorang polisi yang bertugas melatihku sejak bayi. Dengan
bantuannya, aku bisa mengenali situasi bahaya dan gerak-gerik mencurigakan. Aku
sangat sayang dan hormat padanya.
Suatu
hari, Pak Toni mengajakku ke rumah ini.
“Fido,
mulai sekarang kamu akan tinggal bersama Ello, keponakanku,” kata Pak Toni.
Dengan
sedih, aku mengiyakan.
“Jaga
dia baik-baik, ya. Kamu harus selalu menuruti apa yang dia katakan. Ayo,
kenalan dulu.”
Pak
Toni menarik rantaiku mendekat. Aku berdiri sambil mengulurkan tangan, tapi anak
itu malah mundur selangkah.
“Tidak
apa-apa, Ell. Fido tidak akan menggigitmu. Dia adalah anjing yang terlatih.”
‘Ah anak ini pemalu sekali,’ pikirku. ‘Mungkin aku harus berkenalan dengan cara
lain.’
Kudekati
kakinya lalu kujilat. Saat itu juga aromanya terekam dalam memoriku.
“Hiii…”
dia lari menjauh dengan ekspresi jijik dan takut. Pak Toni hanya tertawa.
Tadi
pagi aku ikut mengantar Ello ke sekolah yang letaknya tidak jauh dari rumah kami.
Dia berjalan bersama seorang anak perempuan dan seorang anak laki-laki.
“Ini
anjingmu, Ell?” si anak perempuan bertanya sambil menatapku baik-baik.
“Iya.
Namanya Fido. Menurut Omku, merawat anjing adalah salah satu terapi untuk penderita
cynophobia sepertiku,” Ello
menjelaskan sambil memegang rantaiku erat.
“Kamu
masih trauma gara-gara dulu pernah digigit anjing tetanggamu?” tanya anak
laki-laki satunya sambil sesekali menoleh ke arahku dengan waswas.
Ello
hanya mengangguk.
Wah,
aku baru tahu tentang cerita ini. Pantas saja, selama ini Ello selalu menjaga
jarak denganku.
“Tampang
anjingmu seram sekali, ya,” kata si anak perempuan.
“Iya
juga sih. Apalagi bulunya hitam legam dan badannya tinggi besar. Tetapi menurut
Om Toni yang sudah bertahun-tahun melatih rottweiler, mereka sebenarnya adalah
anjing yang baik hati dan setia. Tetapi insting pemburunya kadang sedikit
merepotkan. Jadi pemiliknya harus tegas.”
Jalanku
makin tegap dan dadaku makin membusung mendengar pernyataan Ello.
“Wah,
kalau punya bodyguard seperti Fido,
pasti tidak ada yang berani menggangumu, Ell,” sahut si anak laki-laki.
Sesampainya
di depan sebuah gedung bercat hijau, Ello menyuruhku pulang.
“Jangan
mampir kemana-mana ya,” pesannya. Aku menjilat tangannya sambil berpamitan.
Sekarang dia tidak keberatan bila aku melakukan itu.
“…Dan
ingat! Jangan kejar ayam Pak Seno lagi.”
Malam
ini, seperti biasa aku tidur di dekat tempat tidur Ello. Anak itu sudah
terlelap dari tadi. Sekitar tengah malam, aku mendengar suara aneh dari luar.
Telingaku langsung berdiri tegak.
‘Mungkin si tambun itu iseng lagi,’
pikirku.
Semenit
kemudian, kudengar suara Hi…..Hu… tepat
dari luar jendela. Sekarang aku yakin ini bukan ulah si tambun. Selain aromanya
berbeda, bayangan dari balik tirai jendela menunjukkan kalau si penyusup
berbadan besar. Aku cepat-cepat menarik selimut Ello.
“Aduh,
Fido! Ada apa sih malam-malam…” kalimat Ello berhenti ketika dia melihat apa
yang tadi kulihat.
“H..h..hantu!”
ia berteriak lalu menutupi wajahnya.
Wah,
ini situasi bahaya! Aku segera berlari dan menerjang jendela, tapi benda itu
bergeming. Aku mencoba mendorongnya sekali lagi dengan kedua kaki depanku,
sambil menyalak keras-keras.
“Tolong!
Tolong!” si penyusup berteriak.
Saat
itulah Ello melompat dari tempat tidur, memegang kalungku erat dan berkata, “Fido,
stop!”
Aku
menahan langkah meski masih menggeram.
Ello
buru-buru membuka jendela kamar. Ketika aku melongok keluar, kulihat dua anak
yang tadi pagi berjalan bersama Ello.
“Ilham?
Ferina? Ngapain kalian disitu?” Ello segera menolong keduanya, lalu mengajak
mereka masuk ke kamar.
“Kami
berniat memberi kejutan ulang tahun untukmu dengan menyamar menjadi hantu,” Ilham
menjelaskan sambil mengelap wajahnya yang belepotan krim kue.
“Mana
kami tahu kalau anjingmu tidur disini. Ketika hendak lari, kami malah terbelit
selimut dan menjatuhkan kue tar untukmu. Rusak deh kejutannya,” rutuk Ferina.
Ello
tertawa terbahak-bahak dan aku makin bingung. Pak Toni belum pernah mengajariku
kasus seperti ini.
“Terimakasih
atas kejutannya, teman-teman. Fido hanya bermaksud melindungiku,kok,” jawab Ello.
Lalu
ia melakukan sesuatu yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya. Ia memelukku!
“Terimakasih,
sobat,” bisiknya.
Comments
Post a Comment