Review: Hororis Causa
Judul buku :
Hororis Causa
Penulis : Adellia Rosa,
Ade Yusuf, Dian Harigelita, Irfan Aulia, Kikit Azeharie, Lariza Oky Adisty, Mel
Puspita, Momo DM, Morgan QLP, Rendra Jakadilaga, Rendy Doroii, Ryan Pradana,
Sigit Harjo
Tahun terbit :
September 2016
Penerbit :
AG Publisher
Halaman :
136
Harga :
Rp. 45.000,- (exclude ongkir)
Kontak pemesanan: order.hororiscausa@gmail.com
Saya jelas mengharapkan standar
tertentu ketika tahu bahwa para penulis Hororis Causa adalah pasukan fiksiminiers.
Syukurlah, mereka tidak membuat saya kecewa.
Satu kata yang menurut saya tepat
menggambarkan buku ini adalah: lengkap
Ditulis oleh tiga belas penulis
dengan latar belakang berbeda, kumpulan cerpen ini menawarkan kengerian dalam berbagai
rupa. Beragamnya setting tempat,
waktu dan budaya, tidak akan membuat pembaca bosan hingga tiba di halaman
akhir. Apalagi tokoh seramnya tidak melulu hantu.
Gaya bercerita yang berbeda sudah
pasti membentuk atmosfer seram yang berbeda pula. Jika saya bisa mengidentikkan
horor dengan warna hitam, maka pembaca bisa mendapatkan warna hitam dengan gradasi
yang berbeda-beda dalam buku ini.
Diksi yang dipakai di “Burung-Burung
Hitam di Mata Mahla” dipilih sedemikian rupa hingga membuat kisah ini tersaji
dengan apik, meski topiknya tidak bisa dibilang baru.
“Lelaki Tudung Hitam” dan “Perempuan Pemilik
Aroma Kematian” memiliki kejutan yang tidak saya duga di awal cerita.
Sebaliknya, “Pernikahan Raga” tidak menyediakan jebakan apapun sehingga ceritanya
mudah ditebak.
Ide di balik “Kabur dari neraka” membuat
cerita ini terasa baru dan berbeda. Sementara “Misteri Buku Harian” mungkin akan
terasa lebih mencekam, jika diceritakan dengan pace yang lebih lambat.
Penggemar horor klasik seperti film-film
lawas yang dibintangi Suzanna tentu akan terhibur dengan cerita “Marni” dan “Kelabang
Hitam Pengasihan”. Sedangkan penyuka
aliran gore, akan menikmati warna merah di “Memburu Harta Karun Kartosoewirjo” dan
“Aku Terlalu Malas Mencari Judul Yang Cocok Untuk Cerita Ini”
Dari kesemuanya ada tiga cerita yang berhasil
menarik perhatian saya.
Pertama, “Ritual Salin Nyawa” dengan detilnya
yang disturbing.
Kemudian, “Trinitas” dengan ironinya
yang memilukan.
Terakhir, dan mungkin yang terbaik,
adalah “Ontran-ontran perempuan”. Ending cerita ini tak hanya memberi rasa dingin
yang membuat bulu kuduk meremang, tapi juga membuat tenggorokan tercekat kesedihan.
Saya pun sukses mewek. Mungkin karena penulisnya tak hanya menyampaikan amarah,
dendam dan pengkhianatan. Ia juga menyusupkan secuil cinta dan kesedihan di
sana.
In the end people, I dare you to read this book. Malam hari. Dan taruhan, kamu akan
sesekali melihat ke sekeliling untuk memastikan bahwa semua baik-baik saja.
Comments
Post a Comment