Buku yang Ramah Anak

Kepentingan Penulis atau Kepentingan Pembaca?

Seperti yang sudah saya singgung sekilas di feed Instagram, ada pembahasan yang sama-sama muncul di workshop Ayu Utami dan workshop Litara, yaitu kepentingan penulis VS kepentingan pembaca.

Ayu sempat bilang, sah-sah saja bila penulis HANYA ingin memenuhi kepentingannya sendiri dan berhenti di sana. Mungkin seseorang sudah cukup puas saat berhasil menuangkan keresahannya dalam bentuk cerita. Dimengerti atau tidak, disukai atau tidak, dia tidak ambil pusing. Namun perlu dicatat, kalau ternyata kepentingan pembaca tidak sejalan dengan kepentingan penulis, penulis bisa kehilangan pembaca. 

Sesi Buku Ramah Anak di workshop Litara dibuka Mbak Sofie dengan sebuah pernyataan tegas: 

Buku anak TIDAK HARUS punya nilai moral. Buku anak HARUS menghibur.


Penulis buku anak cenderung ingin mengajari anak (pembaca) karena BERANGGAPAN anak belum tahu sehingga mereka perlu mempelajarinya.

Inilah yang disebut persepsi defisit. Penulis, yang adalah orang dewasa, tidak benar-benar tahu apa yang diinginkan anak dan apa yang sudah diketahui anak. 

Mungkin karena selama ini orang dewasa tidak benar-benar "mendengarkan" anak.

Menjadi orang tua atau guru tidak lantas menjamin seseorang memahami tentang anak. Bahkan mungkin orang tua dan gurulah yang paling sering tergoda untuk “nuturi” anak. 

Fix. Dunia saya ambruk waktu Mbak Sofie bilang begitu. Haha … Soalnya saya orang tua sekaligus guru. 


Jendela, Cermin, dan Pintu

Berkali-kali kita mendengar tentang fungsi buku sebagai jendela, cermin, dan pintu buat anak. Buku memungkinkan anak melihat atau pergi ke dunia luar yang belum pernah mereka ketahui sebelumnya. Buku juga bisa membuat anak berpikir, wah ini mirip sekali denganku.

 

Sumber: Educatall.com

Namun bagaimana kalau ternyata jendelanya terlalu tinggi? Anak- anak jadi tidak bisa melihat apa yang ada di luar sana. Ujung-ujungnya, orang dewasalah yang menceritakan tentang keadaan di luar sana. Dengan kata lain, pemahaman tersebut TIDAK berasal dari anak itu sendiri.

Atau bagaimana kalau cerminnya digantung terlalu tinggi? Anak-anak tidak akan bisa melihat refleksi utuh diri mereka sendiri. 


Becoming Child All Over Again

Lalu bagaimana cara membuat buku yang ramah anak? Mulailah dari anak-anak. Rendahkan diri, agar kita memiliki persepsi anak.

Sebagai orang dewasa, wajar sih kalau penulis lupa rasanya jadi anak-anak. Kebebasan dan kepolosan ala anak-anak sudah lama lenyap karena dihaluskan oleh norma sosial dan dibebani oleh tanggung jawab menjadi  dewasa.  

Saya jadi ingat pengalaman membaca buku Na Willa bersama anak-anak. Buku itu begitu "anak-anak" dan juga nolstagic. Mirip-mirip dengan serial drakor Reply 1988. Karena anak-anak enggak bisa relate dengan beberapa hal di dalam buku, saya jadi banyak cerita tentang kehidupan anak-anak di tahun 80 dan 90-an. Waktu "mendongeng bebas" itulah saya baru sadar kalau waktu kecil saya bandel. 

Putri sulung saya kemudian komentar, "Aku pengen ketemu Mama waktu kecil. Sepertinya Mama orang yang menyenangkan."  Ouch


Mengenal target pembaca adalah salah satu hal penting saat menulis. Ketahuilah hal-hal yang ada di kepala anak. Seperti apa pemahaman mereka? Sudahkah tema yang kita pilih sesuai dengan minat anak-anak zaman sekarang? Apakah tokoh kita mirip dengan pembaca sasaran? Apakah cerita kita dekat dengan keseharian anak-anak?


I should have known this. Sewaktu jadi guru preschool, salah satu aturan terpenting saat berbicara dengan anak adalah berjongkok. Mengapa? supaya mata kita sejajar dengan mata anak. Eye level. Selain itu, semua perabot di kelas dibuat sesuai dengan tinggi anak. Tinggi kloset, ukuran lemari atau rak, jarak jangkau keran air, juga meja dan kursi. Tujuannya adalah agar mempermudah anak menjadi mandiri.


Pelajaran Bagi Anak 

Mungkin saat ini, di sudut terdalam hati orang dewasa terdengar pertanyaan lirih, Kalau buku anak hanya menghibur, anak-anak tidak belajar apa pun dong?

Anak tidak harus mengalami perubahan atau pencerahan BEGITU selesai membaca sebuah buku. Yang lebih penting adalah membuat anak MENYUKAI dan TERKESAN dengan sebuah buku sehingga dia tertarik untuk membaca ulang dan mengingatnya sampai bertahun-tahun kemudian. 

Ketika anak sudah lebih besar dan membaca ulang buku tersebut, dia bisa mendapatkan pemahaman baru atau pesan moral dari cerita tersebut.

Di akhir sesi ini, peserta workshop diajak menganalisis beberapa contoh naskah dan menemukan alasan mengapa naskah tersebut tidak ramah anak.


Lokakarya Litara (dokumentasi pribadi) 


Waktunya Mendesain Ulang!


Setelah mendengar pemaparan dan melihat banyak contoh, jujur saja saya jadi ingin merombak beberapa cerita yang pernah saya buat. 

Ayo baca ulang tulisan kita masing-masing. Lalu, ukur. Sudahkah tinggi jendela, pintu, cermin sesuai dengan target usia pembaca? Kalau belum, saatnya mendesain ulang.

Comments

Popular posts from this blog

Perempuan-perempuan Hebat di Drama Korea

Ngopi Bersama Alberthiene Endah

Kelas Menulis TaCita 2021 Bersama Kak Reda dan Kak Naya