AFCC 2017 - Difficult issues in children literature
Sesi
kedua di tanggal 17 Mei yang saya ikuti adalah: Death, divorce and sickness in
children literature by Petra Nagyova Dzerengova. Tidak mudah rasanya harus duduk
selama satu jam dan mendengarkan pembahasan yang sebenarnya menakutkan bagi
saya. But I have to. Ini adalah kesempatan berharga untuk belajar.
Petra
menyampaikan presentasi dengan Bahasa Inggris yang sangat kental aksen Eropanya.
Penguasaannya tentang topik ini terlihat dari caranya membawakan presentasi dengan
baik dan santai. Mungkin juga karena ia didampingi oleh putranya selama
presentasi berlangsung. How sweet.
Petra
berbicara mengenai pentingnya mengenalkan topik-topik sensitif sedini mungkin.
Bahkan jika bisa, SEBELUM anak-anak melihat atau mengalaminya sendiri. Sooner
or later, seorang anak akan menyaksikan kematian. Entah itu kematian binatang
peliharaan, keluarga, teman atau tetangga. In short, sulit sekali melindungi anak
dari topik kematian. Petra juga bilang bahwa angka perceraian di negaranya, Slowakia,
cukup tinggi. Karena itu, perceraian juga menjadi salah satu isu penting yang
perlu diperkenalkan kepada anak.
Orang
dewasa yang mengalami kehilangan (karena kematian atau perceraian) atau mengalami
sakit parah biasanya akan melewati sebuah mourning period. Pada saat itu
mereka terlalu rapuh untuk bisa menjadi sandaran yang baik bagi anak-anak. Bayangkan
saja kebingungan yang akan dirasakan oleh anak-anak.
Rupanya
argumen Petra berasal dari pengalaman pribadinya. Once when she was happily
married, ia menulis buku cerita tentang perceraian. Ia tak pernah menyangka
bahwa ia sendiri akan mengalami perceraian beberapa tahun setelahnya. Sudah
bisa diduga, transisi masa sulit itu menjadi lebih mudah karena anak-anaknya
sudah mengenal konsep perpisahan. Hal yang sama juga terjadi ketika saudarinya
berpulang.
Karena
setiap keluarga memiliki kepercayaan dan tradisi yang berbeda, Petra
menyarankan agar orang tua memilih pendekatan yang pas untuk keluarga mereka. Perlu
juga diingat bahwa karakter dan usia anak berpengaruh pada cara mereka merespon
hal sensitif ini. Iapun bercerita tentang respon anak-anaknya ketika mengenal konsep
kematian untuk pertama kalinya. Sang putra sulung ,yang pada waktu itu berusia
empat tahunan, khawatir jika dirinya mati. Suatu hari putranya tahu bahwa Tuhan
tidak mati seperti manusia. Si anak pun mulai berdoa, “God, please let me be
God.”
Saya jadi
ingat e book aku (tidak) suka tetanggaku, karya Ary Nilandari dan Ratna Kusuma
Halim. Sejak membaca buku itu, putri
saya jadi ‘terobsesi’ dengan kematian. Ngilu rasanya ketika suatu hari ia
menyodorkan kertas dan bilang, “Ma, tolong gambarin aku di peti mati dong.”
Tak
cukup sampai di situ, ia terus membicarakan mengenai kematian pada siapapun, di
manapun. Saya jadi sibuk menjelaskan pada para eyang, teman dan tetangga
mengapa ia ngecipris soal mati. Dari beberapa kali diskusi, barulah saya tahu jika
ia mengira orang mati bisa hidup lagi jika dicharge (seperti handphone).
Time
goes on. Di kemudian hari, ada beberapa kenalan kami yang berpulang. Bahkan
bulan lalu, Oma saya juga menutup usia. Sesekali ia masih membicarakan mengenai
buyutnya dan menyatakan kesedihannya. But to my surprise, she is handling her
loss quite well.
Kembali
pada Petra. Ia percaya bahwa karakternya yang positif dan easy going turut mempengaruhi
gaya menulisnya. Meskipun bertema dark, buku-bukunya
memiliki tone yang lembut dan positif. Dalam sesi ini, ia juga membahas
beberapa buku dengan tema serupa. Antara lain:
Brothers
lionheart by Astrid Lindgren
Sebuah
buku yang sempat membuat geger parlemen Swedia pada kemunculannya.
The
visit from little death by Kitty Crowhter
Sebuah
buku berbahasa Prancis yang berhasil memenangkan Astrid Lindgren Memorial Award
pada tahun 2010.
Life
and I, a story about death, by Ellisabeth Helland Larsen dan Marina Schneider
Buku
dengan bahasa yang indah dan ilustrasi tak kalah indah.
Duck,
death and the tulip by Wolf Eribruch
Buku
yang memenangkan Astrid Lindgren Memorial Award pada tahun 2017.
Silahkan
sediakan kuota untuk browsing lebih detil mengenai buku – buku tersebut. Lalu
sediakan tisu. Karena saya sudah menangis duluan, ketika tak sengaja menghapus
foto-foto slide show mengenai buku-buku di atas.
Ada
satu pertanyaan yang dilontarkan oleh Petra siang itu.
Mengapa
kematian sering digambarkan/diilustrasikan dengan warna hitam?
Pertanyaannya
memicu sebuah pertanyaan lain di benak saya.
Jika
sakit, perpisahan dan mati adalah bagian dari hidup, mengapa manusia (baca:saya) cenderung
memalingkan muka dari hal-hal tersebut?
Pertanyaan
di atas bukan kuis. Tapi saya akan senang sekali jika anda menuliskan opini di
kolom komentar. Just for sharing.
Memorable
quote:
(Ketika death diajak main oleh si gadis kecil)
(Ketika death diajak main oleh si gadis kecil)
…Death
has never felt so alive
The
visit from little death - Kitty Crowhter
Love
doesn’t die. Even when it meets me.
Life
and I, a story about death - Ellisabeth Helland Larsen dan Marina Schneider
Tema2 yg berat. Belum sanggup baca beneran, hanya berani baca selintas summarynya. Untung cerita yg ebook aku (tidak) suka tetanggaku itu ditulis Ary dengan cukup ringan, jadi aku juga tidak jadi tenggelam dalam situasi gloomy.
ReplyDeletePas mengilustrasi halaman dengan adegan kematian itu, kuakui paling sulit. Berusaha menggambarkan situasi sedih tapi tidak seram, tidak suram.
Dan ternyata mengesankan anakmu ya hahahaha kebayang repot menjelaskan ke sana kemari.
Saya berani baca terus baper berkepanjangan. Dan selain "Aku tidak suka tetanggaku", belum berani mengenalkan buku sensitif lain.
DeleteKalau anak saya udh gedean kali ya..
Hai, Mbak. Senang deh baca postingan Mbak tentang sesi2 AFCC 2017.
ReplyDeleteTerima kasih, ya.
Syukurlah Mba Nancy. Semoga bermanfaat ya..
Delete