Penulis Indonesia yang juga menjadi pembicara di AFCC
2017 adalah Yovita Siswanti. Tahun ini Mba Yovita membahas tentang tema
lingkungan.
|
Sumber Gambar: Website AFCC 2021
|
Dalam sesinya, Mba Yovita memaparkan
tentang seberapa parah kerusakan lingkungan saat ini. Setelahnya dia berbagi
tips cara menulis buku bertema lingkungan. Salah satu hal yang penting untuk
dilakukan adalah riset, karena penulis wajib menyampaikan fakta dan data yang
akurat. Tak lupa, Mba Yovita juga menunjukkan karya-karyanya dan juga karya
penulis lain yang menyoroti isu kerusakan lingkungan. Adakah yang pernah kalian
baca?
|
Sumber Gambar: Tangkap layar dari video rekaman |
Di penghujung sesi, Mba Yovita
bercerita tentang literasi digital yang menjadi semakin penting di masa
pandemi. Teknologi mempermudah pembaca mendapatkan
buku bagus secara cuma-cuma. Selain itu, sudah banyak kegiatan yang dilakukan secara
daring atapun luring untuk mengajak anak-anak melakukan langkah nyata menjaga bumi
(seperti yang dilakukan oleh klub Green Meadow).
Pada hari yang berbeda, tiga
pembicara dari tiga negara juga berbagi tentang tema serupa. Sesi yang berjudul
Saving the Environment One Book at A Time ini dimoderatori oleh Melissa Low,
seorang peneliti di Energy Studies Institute, National University of Singapore.
|
Sumber Gambar: Tangkap layar dari video rekaman
Permasalahan lingkungan merupakan masalah yang pelik. Bumi dan isinya tidak rusak dalam sekejap, tentu saja pemulihannya juga memerlukan waktu yang panjang dan kerja sama banyak pihak. Institusi besar seperti negara dan para pembuat kebijakan memegang peranan paling penting dalam melakukan perubahan. Sejujurnya saya sendiri kerap bertanya, apakah hal-hal kecil yang dilakukan individu di berbagai tempat bisa benar-benar membantu bumi? Jika ya, seberapa banyak? Mampukah itu bersaing dengan kerusakan yang terjadi lebih cepat? Lee Myung-ae adalah ilustrator dari Korea. Dia memutuskan untuk melakukan tindakan nyata sesuai dengan porsinya. Berita tentang Pulau Plastik di Samudera Pasifik begitu membuatnya terpukul sehingga ia menulis dan mengilustrasikan buku yang berjudul Plastic Island. |
|
|
Sumber Gambar: Tangkap layar dari video rekaman
Evelyn Bookless besar di lingkungan yang asri di bagian barat Irlandia. Keprihatinannya melihat sampah plastik yang mengotori laut menjadi alasan di balik penciptaan tokoh Captain Green. Dia mengatakan bahwa komik yang sarat dengan diksi lucu ala pahlawan super terbukti menarik minat anak-anak. Dia juga menunjukkan foto para pembaca atau anak-anak di kelas berkreasi membuat upcycle art setelah membaca buku Captain Green.
|
|
Sumber Gambar: Tangkap layar dari video rekaman |
Hwee Goh telah bekerja menjadi jurnalis selama 16 tahun sebelum memutuskan untuk berhenti agar memiliki waktu lebih banyak membesarkan empat orang anaknya. Dia menulis buku-buku non-fiksi untuk anak. Menurutnya, narrative non-fiction merupakan media edukasi yang efektif untuk anak. Plot cerita, gaya cerita bertutur, serta ilustrasi yang menarik lebih mudah menyampaikan pengetahuan dan pesan yang mungkin akan diabaikan oleh anak bila disodorkan ‘mentah-mentah’. Buku terbaru Hwee yang berjudul The Earth Experiments membahas topik climate change.
|
Sumber Gambar: Tangkap layar dari video rekaman |
Di akhir sesi, Melissa mengatakan
betapa senangnya jika sewaktu dia kecil dulu, buku-buku bagus semacam itu sudah
tersedia. Dia mengatakan bahwa yang dia lakukan saat ini terinspirasi dari
serial Captain Earth yang ditontonnya. Yuk, kita lakukan perubahan sesuai
porsi kita masing-masing. Jika kita adalah penulis, sisipkan pesan menjaga
lingkungan di dalam karya kita. Jika kita adalah orang tua atau guru, ajak
anak-anak melakukan tindakan nyata menjaga bumi sedari dini. Jika kita adalah
pustakawan, sediakan buku-buku bertema lingkungan untuk mengingatkan anak-anak
bahwa pilihan mereka hari ini menentukan seperti apa masa depan mereka.
|
Comments
Post a Comment