Mahir Berbahasa Daerah. Penting Engga, Sih? Catatan Pendek dari AFCC Singapore 2021 (1)
Tahun ini saya
dapat berkat tidak terduga melalui Mba Debby Loekito. Berkat itu berujung pada
kesempatan untuk ikut Asian Festival of Children’s Content Singapore secara
daring. Syukurlah, bisa jadi reuni daring kami sejak bertemu di AFCC empat
tahun yang lalu
Dokumentasi Pribadi: Saya, Fanny, dan Mba Debby di Singapore 2017 |
Tahun ini yang menjadi Country of Focus adalah Thailand. Meski begitu masih ada cukup banyak penulis Indonesia yang berbagi di sesi AFCC. Salah satunya adalah Yulia Loekito. Mba Yulia berbagi tentang pentingnya penggunaan dialek bahasa daerah dalam buku cerita anak sebagai pengenalan budaya dan sarana mengajarkan toleransi. Sesi sepanjang 40 menit tersebut dimoderatori oleh Alex, peneliti bahasa lokal di India Utara.
Sumber Gambar: Website AFCC 2021 |
Mba Yulia
menceritakan keprihatinannya terhadap bahasa daerah yang semakin ditinggalkan. Kids zaman now biasanya lebih lancar
berbahasa asing daripada berbahasa daerah.
Kekhawatiran yang sama mendorong Unesco
menetapkan tahun 2019 sebagai The Year of
Indigenous Language. Pada tahun 2020, Mba Yulia mengambil langkah nyata
merawat bahasa daerah dengan menerbitkan dua buku berbahasa Jawa berjudul Ibu Ora Sare (ilustrasi oleh Indra Bayu)
dan Menek Wit Jambu (Ilustrasi oleh
Nai Rinake). Kebetulan saya punya buku yang pertama.
Sumber Gambar: Tangkap layar dari video rekaman |
Dalam sesi ini, Mba Yulia membagikan video pendek berisi pendapat anak-anak berbagai usia tentang bahasa daerah dan tanggapan mereka setelah membaca buku-buku berbahasa daerah. Ada anak yang mengaku kesuitan memahami cerita yang dituliskan dalam bahasa daerah. Beberapa anak terkejut ketika tahu bahwa bahasa daerah yang ada di Indonesia sangat banyak jumlahnya.
Sekarang bayangkanlah seorang anak yang lahir dan besar di pulau Jawa yang hampir seluruh keluarga dan lingkungannya berasal dari suku yang sama. Anak tersebut menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi di rumah dan mempelajari bahasa Inggris sebagai bahasa kedua. Kebayang, kan shocknya anak tersebut ketika tiba-tiba harus mempelajari bahasa daerah di sekolah. Dengan bahasa daerahnya sendiri saja tidak kenal, apalagi jika mendengar bahasa daerah lain. Sayangnya fenomena itulah yang lazim kita temui saat ini. Saya sendiri masih ingat ekspresi horor Langit waktu sadar bahwa sebentar lagi dia akan belajar aksara jawa—aksara yang juga dipakai di kedua buku di atas.
Selain menulis dua buku dalam bahasa dan aksara Jawa, Mba Yulia juga menggunakan dialek daerah NTT dalam bukunya yang berjudul Kemiri untuk Tuto.
Memang baik jika
kita memiliki kesempatan untuk melakukan sesuatu dalam lingkup yang besar.
Namun perubahan, sejatinya diawali dari rumah dengan cara yang sederhana.
Misalnya dengan membacakan buku-buku berbahasa daerah dan menggunakannya di
rumah. Ada banyak pilihan judul di Let’s Read Indonesia. Sampai sekarang anak-anak
saya masih belum bisa move on dari Dina Kapisan ing Sekolah. Anehnya, ternyata cerita tersebut engga terlalu kocak jika diceritakan dalam bahasa Indonesia.
Sst, saya beri tahu sesuatu. Dalam waktu dekat, Mba Yulia akan menerbitkan buku berbahasa
daerah lainnya, lho. Kira-kira bahasa apa, ya?
Comments
Post a Comment