Menulis Tentang dan untuk Anak Penyandang Cacat -- Catatan Pendek AFCC Singapore 2021 (3)

Disclaimer: Tadinya saya menulis artikel ini dengan menggunakan istilah difabel atau penyandang disabilitas. Namun ketika saya cek, kata difabel dan disabilitas tidak ditemukan di KBBI, jadi saya ganti dengan istilah penyandang cacat.


Sumber gambar: tangkap layar dari video rekaman

Sesi luar biasa ini dipandu oleh Leigh Turina yang bekerja di Toronto Public Library sekaligus menjabat sebagai pustakawati IBBY Collection for Young People with Disabilities. Koleksi IBBY terdiri dari 4000 buku anak dan remaja yang ditulis dalam 40 bahasa. Sila kunjungi  untuk melihat-lihat.

Oh, mumpung belum telat-telat amat, selamat hari pustakawan bagi semua pustawakan Indonesia. Kalian keren!

Kembali ke pembicaraan tentang buku anak, setiap anak (termasuk anak penyandang disabilitas) perlu melihat perwakilan dirinya dalam sebuah cerita. Yang menjadi tantangan bagi penulis adalah cara menciptakan buku cerita anak yang inkulusif, tanpa bersifat stereotyping dan tidak menjadi sebuah karya pornografi inspirasi (inspiration porn).

Stella Young, seorang aktivis hak penyandang cacat dari Australia, menciptakan istilah ini pada tahun 2012 dalam sebuah editorial di majalah web Ramp Up milik Australian Broadcasting Corporation. Istilah ini merujuk pada tindakan mempertontonkan penyandang cacat sebagai inspirasi, semata-mata karena mereka memiliki kekurangan.

Stella menolak gagasan bahwa aktivitas biasa/normal yang dilakukan oleh penyandang cacat harus dianggap luar biasa hanya karena mereka punya keterbatasan. Alih-alih menyoroti hambatan yang dialami penyandang cacat, pornografi inspirasi malah menggambarkan disability sebagai beban. Ujung-ujungnya, hal tersebut malah menurunkan martabat para penyandang cacat (terjemahan bebas dari wikipedia).

Pembicara pertama pada sesi ini adalah Hidayah Amin. Bukunya yang berjudul  The Mango Tree (2013) telah memenangkan beberapa penghargaan. Hidayah menulis buku untuk semua anak (penyandang cacat ataupun bukan penyandang cacat). Beberapa karyanya adalah: Hang Nadim and the Garfish, Si Ma Guang and Giant Jar, Siti Wan Kembang and the deer. Semuanya ada dalam koleksi IBBY.

.

Sumber gambar: Tangkap layar dari video rekaman

Hidayah juga merupakan salah satu penulis dalam seri I am Unique yang terinspirasi kisah nyata anak penyandang autisme, cerebral palsy dan down syndrome. Ketiga buku yang diterbitkan oleh HelangBooks tersebut, diilustrasi dengan indah oleh EorG dan disajikan dalam dua bahasa agar bisa dinikmati lebih banyak kalangan.

Sumber gambar: tangkap layar dari video rekaman


Hidayah membagikan beberapa hal yang telah dia lakukan untuk menulis buku untuk anak penyandang cacat atau anak berkebutuhan khusus (ABK), antara lain:

  • Menggunakan font khusus anak diseleksia.
  • Mencetak teks dalam tulisan latin dan juga tulisan braille
  • Memiliki bagian yang bisa disentuh (tactile)—hal yang sangat membantu anak ADHD dan autis.
  • Menggunakan sampul keras agar buku lebih awet karena beberapa ABK sangat aktif
  • Menjilid buku dengan ring agar bisa dibuka sempurna dan mempermudah anak buta untuk meraba huruf braille.

Di bagian ini, Lawrence juga menambahkan tip untuk membuat pinggiran board book sedikit melengkung agar tidak melukai dan juga memudahkan anak membalik buku.

Berbeda dengan Hidayah yang menulis buku agar bisa dinikmati anak-anak penyandang cacat, Lawrence Schimel menulis dan menerjemahkan buku yang memiliki tokoh penyandang cacat. Jadi disability tidak disajikan sebagai center of attention, melainkan dirajut sebagai bagian dari cerita.

Dalam sesi ini, Lawrence membahas tiga buku:




Read a Book with Me berkisah tentang anak laki-laki yang ingin mengajak orang lain membaca buku bersamanya, tapi tidak menemukan siapa pun karena semua orang sibuk. Akhirnya anak itu membaca bersama seorang lelaki buta yang tinggal di lingkungannya.

Just Like Them adalah sebuah buku yang menceritakan tentang anak keturunan Afrika yang diadopsi oleh sebuah keluarga berkulit putih. Sementara Que Suerte Tengo bercerita tentang seorang anak laki-laki yang punya seorang kakak buta.

Selain ketiga buku tersebut, Lawrence juga bercerita tentang Wild book, cerita fantasi untuk middle grade, di mana salah satu informasi penting yang berpengaruh pada plot cerita terdapat pada sebuah buku yang ditulis dalam braille.

Lawrence juga menunjukkan beberapa buku yang pengerjaannya melibatkan penyandang cacat seperti Cuentos del picogoros, No huy nada como el original, Violeta dan El pajaro de ebano.

Lawrence mengemukakan tantangan yang ditemui ketika menulis buku untuk dan tentang anak penyandang cacat. Salah satunya adalah penggunaan istilah. Beberapa orang memilih istilah yang dihaluskan, tetapi malah tidak tepat. Misalnya istilah “visual handicapped”. Padahal lebih baik menyebutnya buta. Lawerence juga mengeluhkan bahwa tidak ada istilah khusus yang merujuk pada orang yang tidak cacat.

Ah, I feel you, Lawrence. Saya pun kebingungan ketika menulis artikel ini karena khawatir menggunakan istilah yang salah.

Selain itu, mencetak huruf Braille membutuhkan ruang yang tidak sedikit. Dalam bahasa Spanyol misalnya, ketika menuliskan kata “Qué” diperlukan lima karakter huruf braille termasuk kapital dan tanda garis di atas huruf e. Untuk mengatasi hal tersebut, Lawrence membuat character counter untuk menghitung jumlah huruf braille yang bisa dimuat dalam satu halaman, sehingga pelaku industri buku dapat memperkirakan panjang cerita.

Tantangan lainnya adalah harga. Buku yang dicetak dengan spesifikasi khusus semacam itu biasanya mahal. Sedihnya, meski juga ditulis dalam tulisan latin, masyarakat biasanya merasa ini bukan buku untuk mereka. Sehingga target pasar penjualan buku semacam ini menyempit.

Pertanyaan yang sering ditujukkan kepada Hidayah dan Lawrence adalah bagaimana membuat cerita tentang disability ketika mereka sendiri bukan penyandang cacat. Kedua penulis mengatakan bahwa berbicara langsung dengan penyandang cacat atau lembaga yang berhubungan dengan disability sangatlah membantu.

Penulis perlu berhati-hati saat menuliskan cerita tentang anak penyandang cacat. Hidayah menceritakan kisah di balik pembuatan buku dengan tokoh down syndrome. Sang ilustrator sempat khawatir bahwa penggambaran mata almond yang menjadi ciri khas anak penderita down syndrome akan membuat orang keturunan Tionghoa tersinggung. Kebetulan sang penulis memiliki seorang putri penderita down syndrome. Sang penulis menyampaikan bahwa ciri khas tersebut adalah fakta yang harus dituis. Dia justru akan tersinggung jika itu dihilangkan hanya karena khawatir akan menyinggung ras lain. Dalam pengerjaan buku tersebut, mereka juga berkonsultasi dengan komunitas down syndrome.

Hidayah menekankan pentingnya bersikap rendah hati ketika menulis buku dengan tema disability. Penulis tidak perlu menunjukkan bahwa dia menguasai topik ini. Fokus saja pada tujuan membuat buku inklusif, dengan begitu penulis dapat terhindar dari inspirational porn atau tokenism.

Perbedaan budaya juga disebutkan Lawrence sebagai salah satu tantangan dalam menerjemahkan buku. Salah satu editor Lawrence adalah orang buta. Dia mengatakan bahwa di Mexico, seorang tuna netra di bawah usia 18 tahun tidak boleh memiliki anjing pembimbing, karena dia belum bisa bertanggung jawab bila anjingnya menggigit orang lain.

Ketika menerjemahkan Read a Book with Me ke bahasa filipina, ilustrasi cerita tersebut dibuat ulang karena orang buta di Filipina biasanya bermain gitar untuk mencari nafkah dan tongkat seperti yang ada di dalam buku aslinya tidak umum ditemukan di Filipina.

Lawrence mengatakan bahwa hal-hal yang tidak sesuai dengan standar “normal” seperti eurocentric dan heteroseksual sulit untuk “tampil”. Ada banyak gerbang yang membatasi hal-hal yang bukan mainstream. Menurut Lawrence, penjaga gerbang tersebut adalah orang tua, pustakawan, serta pembeli buku. Dan saat ini, sudah waktunya para penjaga tersebut membukakan gerbang sehingga setiap anak terwakilkan secara positif dalam sebuah karya.

Comments

  1. pernah merasakan betapa susahnya (ternyata) menulis cerita inklusif itu.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Perempuan-perempuan Hebat di Drama Korea

Ngopi Bersama Alberthiene Endah

Kelas Menulis TaCita 2021 Bersama Kak Reda dan Kak Naya