Siapa yang Berhak Bercerita? Catatan Pendek dari AFCC Singapore 2021 (4)
Tema yang juga lumayan banyak dibahas di AFCC adalah tentang keragaman budaya sebagai latar cerita. Sesi di hari pertama yang saya tonton adalah Culturally Diverse Middle Grade and YA books as the Future of Content. Pembicara untuk sesi ini adalah Kristyn Maslog-Levis, penulis asal Filipina yang sekarang berdomisili di Australia, sedangkan pemandu sesi ini adalah Kim Beeman, seorang kepala pustakawan.
Sumber Gambar: tangkap layar dari Laman AFCC |
Membaca tentang budaya lain terbukti dapat menumbuhkan
empati dan menambah wawasan pembacanya. Ironisnya, tidak banyak buku middle grade terbitan Australia yang
menceritakan tentang budaya Filipina. Padahal orang Filipina menempati posisi
ke lima sebagai pendatang terbanyak di Australia. Kegelisahan ini terasa lebih
berat bagi Kristyn karena putrinya terancam tidak akan pernah mengetahui akar
budaya sang ibu. Karena itulah Kristyn mulai menulis tentang budaya dan
kenangan masa kecilnya.
Sumber Gambar: tangkap layar dari video rekaman |
Buku pertama yang Kristyn tulis
dan terbitkan secara mandiri diberi judul The Dragon and The Lizard. Buku
tersebut adalah kumpulan dongeng menjelang tidur yang dituturkan oleh ibunya. Kristyn
juga menulis tentang masa kecilnya yang diwarnai kemiskinan dalam We
Have It All (buku cerita
bergambar). Selanjutnya ada middle grade
fantasy trilogy yang menceritakan
tentang makhluk mitologi dari Filipina.
Sumber Gambar: Shopee Filipina |
- Belajar
teknis menulis yang benar
- Memperluas
jejaring
- Rajin bertanya
dan ikut acara untuk mencari tahu penerbit yang mau menerbitkan karya kita.
- Jika kita
tidak cukup percaya diri untuk menulis dalam bahasa Inggris, gunakan jasa
penerjemah.
- Jika
kesulitan biaya, carilah program pendanaan agar buku kita dapat diterjemahkan.
Salah satu penulis
Asia–Australia yang direkomendasikan oleh Kristyn adalah Rebecca Lim. Rebecca pernah bekerja sebagai pengacara sebelum
menjadi penulis penuh waktu. Karya-karyanya sudah beberapa kali memenangkan
penghargaan dan sudah diterjemahkan ke banyak bahasa. Karya terbarunya berjudul
the Tiger Daughter bercerita tentang
seorang gadis imigran dari Cina.
Sumber Gambar: Goodreads |
Di hari kedua, Christina Soontornvat bercerita tentang
pengalamannya menulis. Christina sudah menulis belasan buku anak, tetapi yang dikupas
tuntas dalam sesi Upclose with Christina Soontornvat adalah dua karyanya yang
memenangkan Newberry. Dua, everybody!
Sumber Gambar: tangkap layar dari laman AFCC |
Yang pertama adalah A
Wish in the Dark, novel yang
bercerita tentang anak yang tumbuh besar di penjara.
Sumber Gambar: Goodreads |
Yang kedua adalah All
Thirteen, buku non fiksi
tentang penyelamatan tim sepak bola Thailand yang terjebak di dalam gua.
Sumber Gambar: Goodreads |
Lahir sebagai keturunan Thailand-Amerika,
Christina lama bermukim di Amerika dan tidak lancar berbahasa Thai. Ketika
tragedi yang menimpa tim sepak bola Thailand itu terjadi pada tahun 2018, kebetulan
dia sedang berada di Thailand. Dengan bantuan keluarga besarnya di Thailand dan
riset yang tidak main-main, Christina menuliskan tentang penyelamatan heroik
itu.
Sumber Gambar: tangkap layar video rekaman |
Christina menyinggung tentang perbedaan
isi berita di televisi Thailand dengan isi berita di televisi Amerika. Tayangan
berita internasional malah banyak menyoroti para penyelam dari luar Thailand.
Christine ingin mengembalikan fokus cerita kepada mereka yang berhak, yaitu
kepada penyelamat dari dalam negeri dan tim sepak bola itu sendiri. Bahkan dia
juga menuliskan kisah yang tidak banyak diketahui, yaitu tentang seorang
insinyur yang dengan bantuan warga setempat membuat pompa sementara untuk
mengeluarkan air dari gua. Dia bilang, perbedaan sudut pandang inilah yang
mungkin membuat bukunya berbeda.
Pada hari ketiga, sesi Owning Our Own Narrative yang dipimpin
oleh Joyceline See Tully menghadirkan
dua penulis Singapura Sim Ee Waun
dan Eva Wong Nava.
Sumber Gambar: tangkap layar dari laman AFCC |
Waktu
pertama kali mendengar judul ini, sejujurnya saya sedikit merasa terintimidasi,
sih. Kekhawatiran semacam ini selalu muncul tiap kali saya menulis cerita
dengan latar belakang budaya yang bukan budaya saya. Niat baik, riset,
wawancara, dan kehati-hatian saja kadang tidak cukup. Sebagai “orang luar”,
suara penulis rentan terdengar berbeda.
Seperti
Kristyn, Eva punya kekhawatiran akan anaknya yang merupakan keturunan campuran.
Di tengah keberagaman yang ada di dunia dan batasnya yang makin saru akibat
pengaruh teknologi, Eva takut anak-anak kehilangan identitas budaya mereka. Bacaan
masa kecil dapat mempengaruhi hidup seseorang. Buku bisa menjadi pengingat akan
akar seseorang. Itulah pentingnya sudut pandang atau suara dari ‘orang dalam’.
Anak-anak perlu melihat perwakilan diri mereka yang disajikan dalam cerita
secara akurat. Cerita disampaikan oleh orang luar bisa saja mengalami bias. Karena
itulah dia menjadi duta Barefoot Books.
Sumber Gambar: tangkap layar dari video rekaman |
Eva mencontohkan salah satu buku
cerita rakyat dari Cina yang ditulis oleh orang Eropa. Buku tersebut membandingkan
dongeng Cina dengan Cinderella dan fabel Cina dengan Anansi the Spider(Afrika).
Tak hanya itu, kata pengantar di buku tersebut juga memberikan deskripsi yang bersifat
stereotyping tentang orang Cina. Eva tampak gusar sekali ketika menyampaikan
hal tersebut. Setiap budaya memiliki ciri khas sendiri. Mengapa harus
membandingkan dengan budaya lain. Terlebih lagi, mengapa harus menjadikan Eropa
sebagai acuan?
Ironisnya, saat menulis buku
biografi tentang tokoh-tokoh dari Singapura seperti atlet, seniman dan aktivis,
Eva menemui kesulitan karena hanya ada sedikitnya informasi atau catatan yang
bisa dia dapatkan mengenai tokoh tersebut.
Berbeda dengan Eva, Sim Ee menulis
fiksi sejarah. Buku itu bercerita tentang masa kecil neneknya. Dia mengeluhkan tentang
banyaknya cerita seputar sejarah Singapura yang ditulis dari sudut pandang
bangsa lain. Dengan tegas Sim Ee mengatakan bahwa itu adalah hak rakyat
Singapura sendiri.
Sumber Gambar: tangkap layar video rekaman |
Karena sejarah adalah alat penting
untuk mengajarkan kepada anak–anak tentang kebenaran masa lalu, siapa mereka sebenarnya,
dan siapa leluhur mereka. Senada dengan pendapat Lawrence pada sesi tentang anak penyandang cacat, Sim Ee mengatakan
bahwa penulis bisa saja menulis apa pun, tapi guru dan orang tualah yang
memegang peranan penting sebagai penjaga gerbang. Mereka yang seharusnya
mengenalkan buku-buku sejarah dan budaya kepada anak-anak.
Sumber Gambar: tangkap layar dari video rekaman |
Pada hari Minggu, hari terakhir
AFCC Singapore 2021, Kristyn kembali hadir. Kali ini dia berbagi panggung
dengan Kat Cho, penulis keturunan
Korea-Amerika. Why I write about Diversity dipandu oleh salah satu editor
Scholastic Asia, Daphne Lee.
Sumber Gambar: tangkap layar laman AFCC |
Kat Cho yang pernah bekerja bekerja
sebagai editor menyampaikan bahwa tidak banyak budaya Korea yang diwakilkan di
Amerika. Dia sendiri menulis young adult
fantasy series tentang rubah ekor sembilan dan siluman.
Di kesempatan ini, Kat
menyampaikan dua hal yang sering disalahpahami oleh orang (saya sendiri kaget
saat mendengarnya). Pertama BTS baru berhasil masuk Billboard setelah kemunculan lagu berbahasa Inggris mereka, Dynamite, karena kebanyakan radio di
Inggris dan Amerika tidak akan menyetel lagu yang tidak berbahasa Inggris. Ironisnya,
bukan mereka sendiri yang menulis lagu itu.
Kedua, meski film Minari memakai bahasa Korea dan
bercerita tentang orang Korea, bisa dibilang film itu adalah film Amerika
karena penulis dan pemerannya adalah orang America yang merupakan keturunan
Korea.
Kat dan Kristyn menyebutkan
beberapa tantangan menerbitkan buku dengan latar belakang budaya Asia untuk
pasar Eropa, Australia, dan Amerika. Pertama, tidak banyak pembeli yang akan
membeli buku semacam itu. Kedua, minimnya dukungan serta tidak ada agensi yang
khusus menangani buku dengan budaya Asia. Ketiga, penyamarataan segala yang
berbau Asia. Misalnya, buku tentang makhluk mitologi Korea bisa saja batal
terbit karena sudah ada cerita serupa tentang ‘monster’ dari Cina yang juga baru
terbit di season yang sama. Keempat, sikap
Asianphobia yang masih cukup kuat. Kelima,
bekerja dengan editor yang tidak berasal dari budaya yang sama dengan latar
belakang cerita.
Sumber Gambar: tangkap layar video rekaman |
Kat juga meyinggung soal
pencitraan gumiho dan dokkaebi (makhluk mitologi Korea) dalam
beberapa drama Korea yang dipelintir demi rating dan tidak menggambarkan
seperti apa sebenarnya sosok mitologi tersebut. Uhuk, saya langsung keinget Goblin sama My Roommate is a Gumiho. Kristyn juga menyinggung tentang manananggal (makhluk mitologi Filipina) yang
bila disajikan dalam penokohoan dua dimensi yang datar, hanya akan
melanggengkan pencitraan negative tentang wanita. Di bagian ini, saya langsung teringat
pertanyaan anak-anak, “Ma, kenapa sih kebanyakan hantu itu perempuan?”
Dalam pembahasan yang seri ini muncul
pertanyaan bagaimana jika tidak ada perwakilan “orang dalam” untuk menceritakan
kisah mereka. Karena kenyataannya kelompok budaya yang jarang terwakilkan seringkali
disibukkan oleh peperangan, kemiskinan, atau penggusuran. Perhatian mereka
banyak tersita untuk urusan tersebut, sehingga tidak memikirkan tentang menulis
cerita. (Saya lega banget, pembahasan ini akhirnya muncul).
Kedua penulis mengingatkan bahwa
komunitas yang jarang terwakili dalam buku tidak melulu dimaknai dalam konteks
budaya atau ras. Masih ada orang dengan orientasi seksual selain heteroseksual,
penyandang cacat, kalangan wanita yang mengalami gender bias, dan lain-lain.
Jadi tidak ada salahnya memasukkan mereka dalam cerita tentang diverse culture.
Kat dan Kristyn menyarankan agar
penulis melakukan riset yang mendalam dan konsultasi dengan orang dalam untuk
mencegah stereotyping dan kemungkinan
salah menceritakan budaya tersebut. Tanpa pengetahuan yang cukup tentang akar
sebuah budaya, bermain-main dengan kreativitas menjadi sangat berbahaya. Catat!
Karena riset bisa memakan banyak
dana, penulis disarankan mencari pendanaan. Keduanya juga mengingatkan agar
penulis bersikap rendah hati dan tidak mengklaim cerita mereka sebagai suara
atau perwakilan dari kelompok tertentu.
Di akhir sesi, Kat dan Kristyn
berpesan agar para penulis tidak berkecil hati. Ada banyak penerbit yang
menerima cerita dengan latar belakang budaya seperti Penguin Books, Simon and
Schuster, Harpercollins, Macmillan dan Scholastic. Dan jangan lupa untuk
menulis surat resmi yang bagus untuk bisa meyakinkan penerbit. Nah, tunggu apa
lagi? Segera terbitkan ceritamu.
Comments
Post a Comment